Rapuh -TAMAT
Disclaimer: Rapuh adalah cerita yang tidak berdasarkan kejadian nyata. Kalau misalnya cerita ini mirip kejadian di dunia nyata maka itu hanya kebetulan. Cerita ini juga tidak bermaksud menyinggung kepercayaan agama atau aliran tertentu. Jadi mohon bijak dan dewasalah, karena ini forum khusus Dewasa. catatan dari penulis: Cerita ini rawan macet, karena kesibukan nubitol yang luar biasa di real life. Ini adalah tempat saya having fun buat nulis. Kalau misalnya ada adegan yang kurang sesuai dengan bayangan kalian, maka saya sebagai nubitol yang baru belajar nulis minta maaf. Dan mohon maaf, karena ini cerita tulisan saya, maka alur ceritanya adalah saya yang menentukan dan tidak meminta masukan. Tapi, kalau misalnya para suhu di sini memberikan kritik pada pemakaian kata, penulisan dan ejaan, saya sangat menerima. Namun, untuk alur cerita saya tidak menerima masukan apapun. Inginnya saya berkreasi sendiri. Demikian dan kurang lebihnya mohon maaf. Cerita pun dimulai PROLOG Apa yang sangat menyakitkan di dalam hidup ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah dikhianati. Itulah yang dirasakan Arief Gagah Suroso. Dia gemetar mendapatkan surat dari pengadilan agama tentang gugatan cerai dari istrinya. Seminggu lagi jadwal sidang tersebut. Apa dia harus datang? Sebenarnya, semuanya sudah diketahui bahwa niatan istrinya menggugat cerai dirinya hanyalah kedok untuk menyembunyikan perselingkuhan wanita itu dengan ustadz yang setiap minggu didatanginya di kajian rutin. Jannah Hanifah, nama yang akan terus diingat dalam seluruh hidup Arief. Masih teringat bagaimana dulu dia meminang istrinya dengan baik-baik ke kedua orang tuanya. Dengan berbekal tekad untuk menjalin keluarga sakinah mawadah warahmah hingga akhir hayat. Rasanya sungguh ini adalah kekecewaan yang mendalam. Setelah lima tahun berumah tangga, nyatanya hanya cukup lima tahun kebersamaan itu. Selebihnya adalah derita dan kesengsaraan atas nama cinta. Rasanya Arief sudah tidak sanggup untuk menahan diri lagi. Dia tidak mau mendatangi panggilan dari Pengadilan Agama itu. Kalau istrinya ingin cerai ya biarkan saja. Namun, bagaimana dengan anak mereka? Bagaimana dengan Khalil? Dia masih kecil. Tidak mungkin Arief akan membiarkan bocah itu tinggal dengan istri tukang selingkuh itu. Tidak mungkin akan membiarkan anak mereka dididik oleh seorang pengkhianat. Khalil tidak boleh dibiarkan tinggal bersama Jannah. Dia harus dididik dengan baik agar tidak seperti ibunya. Malam itu hujan. Suhu ruangan menjadi lebih dingin, seiring dengan masuknya angin dingin dari pintu jendela. Arief beranjak menutup daun jendela hingga yakin sudah dikunci. Di atas ranjang, tampak anak semata wayangnya sedang tidur pulas memeluk guling. Dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Sudah pasti istrinya tidak akan pulang malam ini. Perempuan itu pasti sedang tidur bersama ustadz brengsek itu. Untuk meyakinkan diri, Arief membuka layar ponselnya. Dia pun membuka aplikasi “Track your phone” yang terinstall di ponsel. Aplikasi itu bisa memberitahu letak posisi terakhir seseorang. Dia tidak terkejut dengan hasil yang akan dia peroleh saat melacak posisi terakhir istrinya ada di mana. Tadi dia mendapatkan chat kalau malam ini akan tinggal di rumah orang tuanya. Benarkah demikian? Setelah aplikasi dibuka. Dia pun mendapati dimana posisi terakhir Jannah berada. Ada di Hotel Grand National. Arief hanya tersenyum sinis. Dia tangkap screenshot layarnya, setelah itu dia coba untuk memanggil istrinya. Agak lama untuk diangkat. Setelah beberapa detik berlalu akhirnya istrinya pun mengangkatnya. “Ya, Assalaamu’alaikum,” sapa istrinya, “ada apa mas?” Terdengar suara berisik di seberang sana. Arief sudah membayangkan yang tidak-tidak. Suara napas istrinya juga terengah-engah. “Aku sudah terima suratnya,” jawab Arief. Tiba-tiba suara telepon istrinya hening. Seolah-olah waktu itu kejadiannya benar-benar tiba-tiba dan mendadak berhenti. Suara napas istrinya juga berhenti. Entah apa yang terjadi di sana. “Trus?” tanya Jannah. “Umi sudah bulat ingin cerai?” “Iya.” “Apa alasan umi?” “Bukankah sudah berkali-kali kita bahas ini…uhff…! Kita sudah beda prinsip, ….ehm… kita beda segalanya. Lagipula… sam..pai… sekarang mas juga belum bisa memberikan ….apa yang aku ….inginkan…” lagi-lagi terdengar suara gaduh dan napas istrinya tersengal-sengal seperti menahan sesuatu. Arief makin marah, tapi dia mencoba untuk menahan diri. Dia bukan orang bodoh yang bisa ditipu begitu saja. Arief menghela napas perlahan-lahan untuk meredakan emosinya. Dia pun bertanya kepada istrinya, “Umi masih cinta mas tidak?” Lama jawaban dari Jannah. “Ahhh…” terdengar desahan istrinya. Arief masih menunggu. Dia sudah mengira apa yang terjadi di sana seperti apa, jadi tak perlu dia bertanya. “Umi masih cinta mas tidak?” diulangnya pertanyaan Arief. “Maaf, mas,” terdengar suara Jannah menarik napas dalam-dalam seperti baru saja lari marathon. “Sedang angkat-angkat tadi. Kalau ingin Umi kembali ke mas, syaratnya gampang. Penuhi keinginan Umi.” “Begitukah?” tanya Arief sambil mendesah. “Iya, Mas tahu sendiri sekarang pendidikan mahal, Khalil butuh biaya sekolah, rumah, kehidupan setiap hari dan hutang mas itu sudah seabrek. Umi juga kan yang akhirnya cari duit sana sini? Umi juga yang kerja sudah tiga bulan Umi menutupi keuangan keluarga kita. Sedangkan, Mas? Mas tidak ada sumbangsih sama sekali! Mas mikir nggak? Umi juga perlu nafkah!” “Tapi mas juga ngasih ke kamu bukan? Seluruh gaji mas sudah kukasih. Mas bahkan nyaris tiap hari ke kantor nggak bawa uang dan nahan lapar sampai pulang ke rumah. Itu pun di rumah kalau masih untung ada makanan, biasanya juga sudah habis! Umi kemana selama ini?” “Mas yang kemana selama ini? Setiap hari kerja pagi sampai malam, trus capek tidur. Aku juga butuh perhatian mas!” Arief terdiam sejenak. Dia mendesah lagi. “Memangnya selama ini perhatianku kurang? Setiap kamu sakit, akulah yang merawat. Akulah yang menahan lapar sebelum aku melihat kalian makan aku tidak akan makan. Akulah yang rela mengubur cita-citaku hanya untuk kalian. Kau kira aku kemana?” “Mas juga perlu ingat, mas pernah dekat dengan perempuan lain. Si Azizah itu atau siapa namanya. Mas kira aku tidak tahu? Mas masih suka ama dia kan? ngaku saja! Mas begitu baik ama dia, tapi sama aku? Mas lebih mengkhawatirkan si Azizah itu daripaada aku. Aku juga perlu dikhawatirkan mas.” Ada alasan lain kenapa Arief lebih perhatian ke Azizah. Memang salahnya tidak cerita ke istrinya, tapi itu bukan alasan yang sebenarnya. Arief sudah tidak lagi melihat celah istrinya untuk bisa mencabut gugatan cerai itu. “Kau tak memikirkan bagaimana Khalil nanti hidup tanpa kebersamaan orang tua?” tanya Arief. “Mas, orang tua Khalil masih hidup. Kita cuma pisah saja. Kita bisa saling mengasuhnya. Kita cerai dengan baik-baik. Hak asuh biar Khalil yang memilihnya nanti kalau sudah cukup umur, sementara Khalil bersamaku,” jawab Jannah, “jangan khawatir, aku bisa mendidik Khalil.” “Kau sudah bertekad bulat untuk hal ini?” tanya Arief sekali lagi, “ini pertanyaan terkahirku. Sebab, setelah ini kau tidak akan melihatku lagi sebagai Arief yang kau kenal.” “Maksud mas?” “Aku akan sangat berbeda,” jawab Arief, “makanya, aku bertanya kepadamu, kau sudah bertekad bulat menggugat ceraiku?” “Iya, aku sudah bertekad bulat. Tidak ada yang aku ragukan,” jawab Jannah. “Berapa lama kau sudah memikirkan ini?” tanya Arief. “Cukup lama,” jawab Jannah, “daripada kita saling menyakiti, ini jalan yang terbaik.” Arief berkata, “Baiklah. Kau yang memilihnya. Salam kepada ustadz Tholib di situ, agar beliau bisa menjagamu dengan baik.” “Hah? Maksud mas? mas….” suara Jannah terputus. Arief telah menutup teleponnya. Arief tersenyum sinis. Dikiranya selama ini Jannah tidak tahu kalau berselingkuh. Sementara itu di tempat lain Jannah gemetar menggenggam ponselnya. Tubuhnya ada di atas ranjang tanpa sehelai benang pun sementara itu di sebelahnya ada seseorang yang tadi disebut oleh suaminya, ustadz Thalib. Guru pengajian mereka selama ini, sekligus juga teman Jannah saat kuliah dulu. Mustahil perselingkuhan mereka diketahui Arief? Sejak kapan? Jannah panik. Dia mencoba menghubungi Arief sekali lagi, tetapi tidak diangkat atau direject. Jannah khawatir. Dia buru-buru pergi ke kamar mandi yang ada di kamar hotel untuk membersihkan dirinya dari bau sperma yang melekat di tubuhnya. Melihat gelagat Jannah, Thalib pun menghampirinya di kamar mandi. “Ada apa?” tanya Thalib. “Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh,” jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. “Ya bagus dong.” “Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!” “Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?” Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. “Mas, kita harus mikirin masalah ini,” ucap Jannah. “Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu,” kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. “Ohhh… jangan Mas ustadz…ahh…!” desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu. Selingkuh adalah dosa besar dan pengkhianatan terbesar bagi Arief. Dan ini adalah cerita bagaimana Arief membalas mereka.