Suara Hati Istri XXX
Iseng-iseng nulis cerita terinspirasi dari sinetron yang sering ane tonton. Beberapa pemeran wanitanya ane tertarik untuk membuat cerita fiksinya. Namaku Icha, aku dianugerahi wajah yang cantik, tubuh yang tinggi. Banyak pria yang tergila-gila padaku. Namun aku tolak karena aku ingin fokus berkarir sebagai selebgram berhijab. Sehari-hari aku berhijab, sudah sekitar 5 tahun aku berhijrah. Dahulu saat masih menjadi gadis sampul aku belum berhijab. Namun seiring dengan trend, hari ini model dan selebgram hijab pun diterima oleh pasar. Seiring dengan usia yang terus bertambah, orang tuaku menyuruhku agar segera membangun rumah tangga. Pada akhirnya aku menerima tawaran orang tuaku untuk dipinang oleh Adi, seorang pria dengan usia beberapa tahun di atasku. Dia adalah seorang eksekutif sukses yang berhasil menjadi direktur BUMN dalam usia 31 tahun. Tentu dari segi kekayaan dia sudah mapan. Aku merasa cocok dengannya karena dia juga lebih dewasa dari ku. Soal fisik dia cukup tampan dan good looking. Aku merasa beruntung bisa dipilih olehnya. Pertunangan pun tiba, beberapa bulan kemudian kami menikah. Tak perlu waktu lama bagi kami untuk saling mengenal. Kami merasa sudah cocok satu sama lain. Tibalah waktu yang sangat sakral bagi kami, yakni malam pertama. Malam ini aku akan menyerahkan keperawananku kepada suamiku. Dia pun akan merenggut keperawananku. Wangi harum melati semerbak ke setiap sudut kamar pengantin kami yang dihias warna dominan merah jambu. Berbalut kaos ketat yang juga berwarna pink dan celana legging, aku berbaring di ranjang. Aku masih mengenakan jilbab karena Mas Adi menginginkan aku tidak melepasnya. Mas Adi ada di sisiku. Matanya yang bening menatapku penuh rasa cinta, sementara jemarinya yang halus membelai lembut tanganku yang sedang memeluknya. Malam ini adalah malam pertama kami sah untuk sekamar dan seranjang. Suasana yang romantis, ditambah dengan sejuknya hembusan AC, sungguh membangkitkan nafsu. Mas Adi memelukku dan mengecup keningku, lalu mengajakku berdoa pada Yang Maha Kuasa seperti pesan pak ustaz yang mengisi khutbah pernikahan kami. ”Andaikan apa yang kami lakukan malam ini menumbuhkan benih dalam rahim, lindungi dan hindarilah dia dari godaan setan yang terkutuk.” Dari kening, ciuman Mas Adi turun ke alis mataku yang hitam dan lebat, lalu berlanjut ke hidung dan terus hingga sampai ke bibirku. Ciuman kami semakin lama semakin bergelora, dua lidah saling melumat diikuti dengan desahan nafas yang semakin memburu. Tangan Mas Adi yang tadinya memeluk punggungku, mulai menjalar ke depan, perlahan menuju ke gundukan payudaraku yang cukup besar. Tidak lama kemudian, kaosku pun terkuak, juga kaitan BH-ku yang melingkar di punggung. Kedua bukit kembar ku pun tersembul keluar. Tampak indah menggoda dengan ukurannya yang besar dan bentuknya yang bulat sempurna, lengkap dengan putingnya yang mungil kemerahan. Sementara Mas Adi mengelus dan memandanginya dengan kagum, aku juga berhasil membuka kaosnya, melepas singlet dan juga celana panjangnya. Hanya tinggal celana dalam masing-masing dan hijabku yang masih memisahkan tubuh telanjang kami berdua. Kubisikkan kata-kata cinta padanya. Mas Adi tersenyum dan menatapku sambil berkata bahwa dia juga amat mencintaiku. Dia lalu melanjutkan ciumannya ke leherku, turun ke dada, dan dengan amat perlahan, mendaki bukit payudaraku dengan lidahnya. Saat sampai di puncak, Mas Adi menjilat dan mengulumnya dengan penuh nafsu. Diperlakukan seperti itu, putingku yang sudah mengacung keras, makin menegak tak karuan. ”Oughhh.. Arrgghhhhh…” aku jadi mendesah dan meracau tidak jelas. Mataku terpejam, sementara bibirku yang tebal sensual sedikit merekah. Sungguh sangat menggairahkan sekali. Sambil terus mencucup, tangan Mas Adi mengelus, meremas dan memilin puting di puncak bukit satunya lagi. Dia seperti tidak ingin buru-buru, seperti ingin menikmati detik demi detik yang indah ini secara perlahan. Mulutnya berpindah dari satu sisi susu ke sisi satunya lagi, diselingi dengan ciuman ke bibirku, membuatku makin berkeringat. Aku cuma bisa membalas dengan mengacak-acak rambutnya liar, bahkan kadang-kadang menarik dan menjambaknya, yang penting birahiku terlampiaskan. Dengan berbaring menyamping berhadapan, Mas Adi melepas celana dalamku. Satu-satunya kain yang masih tersisa. Perlakuan yang sama kulakukan kepadanya, membuat kontolnya yang sudah sedemikian kerasnya mengacung gagah. Mas Adi membelai kakiku sejauh tangannya bisa menjangkau, perlahan naik ke paha, berputar-putar, berpindah dari kiri ke kanan, sambil sesekali seakan tidak sengaja menyentuh gundukan berbulu lebat milikku. Sementara aku yang juga sudah tidak sabar, segera membelai dan menggenggam kontolnya. Kukocok benda itu, kugerakkan tanganku maju mundur. ”Ahhhssss…” Mas Adi melenguh nikmat. Melalui paha sebelah dalam, perlahan tangan Mas Adi naik ke atas, menuju ke memekku. Begitu tersentuh, aku mendesah semakin keras. Nafasku juga semakin memburu. Perlahan Mas Adi membelai rambut kemaluanku, lalu jari tengahnya mulai menguak ke tengah, membelai dan memilin-milin tonjolan daging sebesar kacang milikku yang sudah sangat licin dan basah. Tubuhku langsung menggelinjang, pinggulku bergerak ke kiri ke kanan, juga ke atas dan ke bawah. Keringat semakin deras keluar dari tubuhku yang montok. Di atas, ciuman Mas Adi menjadi semakin ganas. Ia mulai menggigiti lidahku yang masih berada di dalam mulutnya. Sementara tangannya semakin cepat bermain di atas klitorisku, mengelusnya maju-mundur dengan cepat, hingga tak lama tubuhku mengejang dan melengkung, kemudian terhempas keras ke tempat tidur disertai erangan panjang. Orgasme yang pertama telah berhasil ia persembahkan untukku. Kupeluk dia dengan erat dan berbisik, “Ohh… nikmat sekali. Terima kasih, sayang.” Mas Adi yang tidak ingin beristirahat lama-lama, segera menindih tubuhku, lalu dengan perlahan menciumi payudaraku, dan terus ke bawah hingga ke perut, ke bawah lagi, dan terus ke bawah, hingga deru nafasku kembali terdengar berisik disertai rintihan panjang begitu lidahnya mulai menguak lubang memekku. Cairan vagina ditambah dengan air liur Mas Adi membuat lubang hangat itu semakin basah. Mas Adi memainkan klitorisku dengan lidahnya, sambil kedua tangannya meremas-remas pantatku yang padat berisi. Tanganku kembali mengacak-acak rambutnya, sambil sesekali kukuku yang tidak terlalu panjang menancap di bahunya. Ngilu tapi nikmat rasanya. Kepalaku terangkat lalu terbanting kembali ke atas bantal menahan kenikmatan amat sangat yang diberikan oleh Mas Adi. Perutku terlihat naik turun dengan cepat, sementara kedua kakiku menjepitnya dengan kuat. Tak tahan, kutarik kepalanya, lalu kucium dia dengan gemas. Mas Adi menatap mataku dalam-dalam, meminta ijin dalam hati untuk menunaikan tugasnya sebagai suami. Tanpa kata, aku mengiyakannya. Akhirnya, tiba juga saat itu. Sambil tersenyum manis, kuanggukkan kepalaku. Mas Adi memberikan kontolnya untuk kukulum sebentar, sekedar untuk membasahinya, sebelum akhirnya dengan perlahan, mengarahkannya menuju liang kewanitaanku. Dia menggosok-gosoknya sedikit untuk menambah bukaan memekku, kemudian dengan amat perlahan, menekan dan mendorong masuk. Aku langsung merintih keras, kesakitan. Spontan kudorong bahunya, meminta Mas Adi untuk berhenti sebentar. Air mata meleleh di sudut mataku. Mas Adi yang tidak tega, segera menarik kembali penisnya. Dia memeluk dan menciumiku. Hilang sudah nafsunya saat itu juga. ”Maafkan aku, sayang..” aku berkata penuh sesal. ”Iya, aku mengerti.” Mas Adi melumat bibirku. ”kita coba lagi nanti.” Setelah beristirahat beberapa lama, Mas Adi mencoba memulainya lagi, dan lagi-lagi gagal. Dia sangat mencintaiku sehingga tidak tega untuk menyakitiku. Aku sendiri juga sangat ingin melakukannya. Tapi mau bagaimana lagi, rasanya memang sangat-sangat sakit. Jadilah malam itu kami tidur berpelukan dengan tubuh masih telanjang. Aku meminta maaf kepadanya dengan mengoralnya sampai keluar. Tapi Mas Adi kelihatan tidak begitu puas. Dia ingin memecah perawanku. Aku bisa mengerti kegusarannya. **** Jam 10 malam keesokan harinya, kami kembali masuk kamar dengan bergandengan mesra, diikuti oleh beberapa pasang mata dan olok-olok saudara-saudara iparku. Olok-olok dan sindiran dari mulut saudara-saudara ipar, kutanggapi dengan senang dan bahagia. Seperti biasa, setelah saling merayu dan memuji, kami segera melepas pakaian masing-masing. Dengan tubuh sama-sama telanjang kecuali hijabku yang masih menempel, kami naik ke atas tempat tidur dan berpelukan dengan erat. Setelah berciuman dan saling remas beberapa saat, aku pun segera menghisap penis Mas Adi. Kulakukan sampai dia hampir keluar. Sebelum moncrot, Mas Adi meminta untuk berhenti. Sepertinya dia benar-benar berniat akan mangambil perawanku malam ini. Mas Adi memintaku untuk berbaring telentang di tempat tidur. Dia menarik lututku hingga aku mengangkang. Telungkup tepat di bawahku, muka dan mata Mas Adi persis berada di depan vaginaku. Dia memelototi bagian dalam memekku yang merah basah, sungguh menggairahkan. Dengan dua jari, Mas Adi membuka dan memperhatikan bagian-bagiannya. ”Aku baru tahu kalau klitoris bentuknya tidak bulat, tetapi agak memanjang. Aku bisa mengidentifikasi mana yang disebut Labia Mayor, Labia Minor, Lubang Kemih, Lubang Senggama, dan yang membuatku merasa sangat beruntung, aku bisa melihat apa yang dinamakan Selaput Dara, benda yang berhasil kau jaga utuh selama ini. Jauh dari bayanganku, selaput itu ternyata tidak bening, tetapi berwarna sama dengan lainnya, merah darah. Di tengahnya ada lubang kecil.” Dia menerangkan. Tidak tahan berlama-lama, Mas Adi segera mulai menciumi memekku. Dia memainkan klitorisku dengan lidahnya yang basah, hingga membuatku kembali mengejang. ”Arghhhhh…” merintih keenakan, kujepitkan kedua kakiku ke kepalanya erat-erat, seakan tidak rela untuk melepaskannya lagi. Dana terus memilin, menyedot, dan memain-mainkan klitoris kecilku dengan lidah dan mulutku. Dia semakin liar, bahkan aku sampai terduduk menahan kenikmatan yang amat sangat. Aku lalu menarik pinggulnya, sehingga posisi kami menjadi berbaring menyamping berhadapan, tetapi terbalik. Kepala Mas Adi berada di depan memekku, sementara aku dengan rakusnya telah melahap dan mengulum batang penisnya yang sudah sangat keras dan besar. Oughhh… rasanya sungguh nikmat tiada tara. Tapi Mas Adi kelihatan kesulitan untuk melakukan oral terhadapku dalam posisi seperti ini. Jadi dia memintaku kembali telentang di tempat tidur. Mas Adi lalu naik ke atas tubuhku, tetap dalam posisi terbalik. Hampir bobol pertahanan Mas Adi menerima jilatan dan hisapan lidahku yang hangat dan kasar. Apalagi saat kumasukkan kontolnya ke dalam mulutku seperti akan menelannya, kemudian aku bergumam. Getaran pita suaraku seakan menggelitik ujung kemaluannya, membuatnya menggelinjang keras. Bukan main nikmatnya. Karena hampir tidak tertahankan lagi, Mas Adi segera mengubah posisi. Wajah kami berhadapan. Kembali dia menatap mataku, membisikkan bahwa dia sangat menyayangiku. Mas Adi juga bertanya, apakah kira-kira aku akan tahan kali ini? Kucium bibirnya dengan gemas sebagai jawaban, kuminta dia untuk melakukannya pelan-pelan. Mas Adi menuntun kontolnya menuju lubang vaginaku. Berdasarkan pengamatannya tadi, Mas Adi tahu dimana kira-kira letak Liang Senggamaku. Dia menciumku sambil menurunkan pinggulnya pelan-pelan. Aku langsung merintih tertahan, tapi kali ini tanganku tidak lagi mendorong bahunya. Mas Adi mengangkat lagi pinggulnya sedikit, sambil bertanya apakah terasa sangat sakit. Dengan isyarat gelengan kepala, kukatakan bahwa aku juga sangat menginginkannya. Setelah memintaku untuk menahan sakit sedikit, dengan perlahan tapi pasti, Mas Adi menekan pinggulnya. Dia memasukkan kontolnya sedikit demi sedikit. Kepalaku terangkat ke atas menahan sakit. Mas Adi segera menghentikan usahanya saat melihatku meringis. Dia menatap mataku lagi, meminta persetujuan. Meski ada setitik air mata disana, tetapi sambil tersenyum, aku menganggukkan kepala. ”Lakukan… sayang!” bisikku lirih. Mengangkat pinggulnya sedikit,Mas Adi kemudian menekannya lagi pelan-pelan. Saat aku sudah tidak menolak, dia lalu mendorongnya kuat-kuat. ”Heggkkhhh…” aku mengerang keras sambil menggigit kuat bahunya. Kelak, bekas gigitan itu baru akan hilang setelah beberapa hari. Akhirnya, setelah melewati perjuangan keras dan menyakitkan, seluruh batang Mas Adi berhasil masuk ke dalam lubang memekku. Dia tampak bangga dan bahagia telah berhasil melakukan tugasnya. Mas Adi menciumi bibirku dengan mesra, dan menyeka butir air mata yang mengalir dari sudut mataku. Aku membuka mata. Sebagai istri, aku juga bahagia. Di balik rasa sakit yang kualami, aku juga telah berhasil mempersembahkan satu-satunya milikku yang berharga pada suamiku. Setelah rasa sakitku sedikit mereda, perlahan Mas Adi menarik keluar kontolnya, lalu menekan lagi, ditarik lagi, ditekan lagi, begitu terus berulang-ulang, tapi tetap dalam tempo pelan, takut membuatku kesakitan. Baru setelah memekku bisa menerima kehadiran kontolnya, dia melakukannya dengan sedikit cepat. Setiap Mas Adi menekan masuk, aku mendesah. Dan kali ini bukan lagi rintihan penuh kesakitan, tapi desisan dari rasa nikmat yang amat sangat yang menyerang memekku saat kontol kaku Mas Adi menggesek cepat permukaannya yang hangat dan lembut. Menimbulkan rasa nikmat tiada tara yang baru kali ini kurasakan. Rasanya lebih nikmat dari sekedar jilat atau petting. Rupanya, beginilah kenikmatan persetubuhan yang sebenarnya. Oughhh… aku menyukainya. Kurasa, aku bisa ketagihan dan tergila-gila dibuatnya. Butir-butir keringat mulai membasahi tubuh telanjang kami berdua. Nafsu birahi yang telah lama tertahan terpuaskan lepas saat ini. Kepalaku mulai membanting ke kiri dan ke kanan, seiring kontol Mas Adi yang mengocok lubang memekku semakin cepat. ”Oughhhh… Sshhhh…” aku merintih. Kupeluk erat tubuh Mas Adi sambil sesekali kukuku menancap di punggungnya. Pijitan dan jepitan erat memekku membuat Mas Adi jadi tidak tahan lagi. Sambil menancapkan batang kontolnya dalam-dalam, ia pun menyemburkan spermanya banyak-banyak ke dalam rahimku. Suamiku kalah kali ini. Dia memeluk dan menciumi wajahku yang basah oleh keringat, sambil berucap terima kasih. Mataku yang bening indah menatapnya bahagia. Meski tidak sampai orgasme, tapi aku sangat puas bisa mempersembahkan milikku yang paling berharga kepadanya. Mas Adi menambahkan, ”Aku titip padamu, jaga baik-baik anak kita bila benih itu tumbuh nanti.” Aku mengangguk mengiyakan. Kami baru sadar bahwa kami lupa berdoa sebelumnya, tapi mudah-mudahan Yang Maha Esa selalu melindungi benih yang akan tumbuh itu. Seprai merah jambu sekarang bernoda darah. Mungkin karena selaput daraku cukup tebal, noda darahnya cukup banyak, hingga menembus sampai ke kasur. Itu akan menjadi kenang-kenangan kami selamanya. Malam itu kami hampir tidak tidur. Setelah beristirahat beberapa saat, kami melakukannya lagi, lagi, dan lagi. Entah berapa kali, tapi yang pasti, pada hubungan yang ke dua setelah tertembusnya selaput dara itu, Mas Adi berhasil membawaku orgasme, bahkan lebih dari satu kali. Dia yang sudah kehilangan banyak sperma, menjadi sangat kuat dan tahan lama, hingga akhirnya dia menyerah kalah dan tergeletak dalam kenikmatan dan kelelahan yang amat sangat… Part 2: