Sebelum Peluit Terakhir Berbunyi
Ronde ke lima kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar, Leg kedua Indonesia 0 v Uruguay 3 ( Agg 3 – 4 ) Semua pemain termasuk diriku menatap pasrah saat bola yang ditendang Diego Rolan meluncur menuju gawang Indonesia yang sudah tidak ada yang menjaga. “Prriiiiiiitttttt… ” Peluit wasit berbunyi saat bola melewati garis gawang. Uruguay akhirnya mencetak gol ketiganya sekaligus sementara unggul dalam aggregate menjadi 3 – 4. Diego Rolan berteriak kegirangan dan berlari ke tiang corner untuk merayakan golnya, hampir semua pemain Uruguay langsung berlari ke tiang corner untuk merayakan gol tadi. Suasana yang kontras justru terjadi di GBK. Tidak sampai satu menit yang lalu stadion ini bergemuruh dengan sangat luar biasa. Semua penonton berteriak sekuat tenaga untuk memberikan dukungan mereka kepada kami yang sedang berada diatas angin dan menggempur pertahanan Uruguay. Tapi sekarang GBK terdiam menatap perayaan Uruguay. Semua penonton terbungkam, tidak percaya dengan apa yang terjadi dalam kurun waktu satu menit terakhir. Semua pemain timnas juga terdiam. Evan Dimas tampak memegang kepalanya. Kami semua saling bertatapan, tidak tahu harus mengatakan apa.. Aku sedikit melirik ke papan skor.
10 menit menuju Full Time.. Inikah akhirnya? Kalah di kandang sendiri? Aku menunduk ke bawah, kulihat ikatan tali sepatuku yang terlepas.. Dan teringat akan janjiku kepadanya.. . . . . . . . . . . . . . . . Sepuluh tahun sebelumnya
Esplanade Park – Singapura, 2011 Aku sedang berdiri melihat ke arah sungai dimana sebuah kapal ferry wisata sedang mengarungi sungai membawa puluhan turis yang asik berfoto foto diatas kapal. Aku tersenyum sendiri melihat kegirangan mereka.. Seandainya aku bisa tersenyum segirang itu sekarang.. Kumainkan jari kedua tanganku dan menatap kosong ke langit sore yang sangat cerah, sinar mataharinya yang hangat dan menyilaukan segera menerpa wajahku. “Excuse me?” Ah seharusnya aku memanfaatkan waktu liburan ini untuk menenangkan pikiranku.. Bukan malah memenuhi pikiranku dengan rasa pesimis.. “Hello? You there by the railing?” Aku akhirnya sadar oleh suara wanita yang memanggilku. Aku segera menengok ke sumber suara tersebut. Seorang wanita berkulit putih dan rambut yang cukup panjang sedang duduk di kursi taman dibawah pohon, bayangan pohon rindang itu menutupinya dari sinar matahari. “Me?” Tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri. “Yeah, you.. Are.. You okay?” Tanya wanita itu sambil melepaskan headsetnya. Ia menatapku bingung. “Umm.. Yeah no.. I’m okay.. ” Jawabku. Kenapa dia tiba tiba bertanya seperti itu? Ah memang orang asia.. Kulturnya sedikit berbeda dengan kultur eropa. “Umm.. Is that yours?” Kata wanita itu lagi ketika aku akan berbalik badan. Aku melihatnya lagi dan dia sedang menunjuk sesuatu dibawah kakiku. Aku langsung nengok ke bawah. Oh.. Tanpa aku sadari botol air mineralku jatuh dan menumpahkan isinya. Aku langsung membungkuk dan mengambil botol air mineral itu lalu mencari tempat sampah. Ternyata di dekat wanita itu duduk ada sebuah tempat sampah. Aku lalu berjalan menuju ke tempat sampah itu untuk membuang botol air mineralku ini. “I’m sorry i didn’t know..” Ucapku saat melewati wanita itu. “That’s okay.. ” Jawab wanita itu. Tanpa aku sadari aku melihat barang barang yang ia bawa, banyak sekali buku buku seperti buku sketsa, dan di halaman depan buku tersebut ada sebuah label bertuliskan “na Sarasvati” Aku tidak bisa membaca kata depan sebelum Sarasvati itu.. Tapi aku sedikit takjub dengan namanya, Sarasvati, How cool is that? “Hey, cool name by the way.. ” Ucapku spontan. Wanita itu kembali menatapku bingung, mungkin dia bertanya tanya darimana aku bisa tau namanya.. “Sorry?” Tanyanya. “Your name.. ” Ucapku sambil menunjuk label di cover buku yang ia pegang. “Sarasvati, that’s a cool name.. Very Indian-ish” Lanjutku. Wanita itu langsung melihat label bukunya yang aku tunjuk dan langsung mengerti darimana aku bisa tau namanya. “Oh.. Thanks, It is from Indian, but i’m not Indian.. I’m actually Indonesian.. ” Ucap wanita itu sambil tersenyum. Eh? Indonesia? Dia orang Indonesia? Pantesan mukanya ko rada rada Indonesia.. Kaya mojang Bandung gitu yang putih bersih dan manis.. “Lho, orang Indo?” Tanyaku spontan. Wanita itu juga sama terkejutnya. “Iya! Elo juga?” Tanyanya antusias, aku mengangguk senang. Senangnya bertemu dengan orang senegara saat berada di negeri orang.. Tidak harus menggunakan Bahasa lain untuk berkomunikasi.. “Yaampun.. kirain orang singapura.. Abisnya disini susah sih bedainnya.. Orang Indo sama orang Lokal mirip mirip.. ” Kata wanita itu langsung ngomong. “Eh duduk duduk.. ” Tawarnya sambil bergeser dan mempersilahkan aku duduk. “Makasih.. Iya nih, bedainnya aga aga susah ya? Mana banyak juga kan orang Indo yang kuliah disini.. Jadi udah cape cape ngomong Inggris, eh ga taunya sama sama Indo.. Yaa kaya kita tadi lah barusan.. ” Ucapku sambil duduk disampingnya. “Oiya, gue Dipta.. ” lanjutku sambil menjulurkan tanganku untuk berkenalan dengannya. “Isyana.. ” Jawabnya dan menjabat tanganku dengan erat. Kita berdua akhirnya ngobrol ngobrol sedikit dibawah teduhnya bayangan pohon rindang itu di Taman Esplanade. Isyana nanya kenapa aku bisa sampe ga sadar kalo botol air mineralku jatuh tadi. Aku akhirnya merasa terpancing untuk cerita latar belakangku. Aku adalah atlit pesepakbola, selama tiga tahun ini aku bermain untuk Persema Malang, setelah bermain bagus bersama Persema, akhirnya tawaran datang dari beberapa tim besar Indonesia, termasuk ke luar negeri.. Aku akhirnya tergiur untuk mencoba tawaran dari Sparta Praha, meskipun tidak masuk ke tim inti melainkan tim reserves, aku merasa tawaran itu akan menjadi batu loncatan yang sangat besar untuk diriku. Dan sudah setahun ini aku bermain di Praha.. “Ih, berarti gue harus manggil elo kaka yaa.. ” Potong Isyana becanda. “Lho, emang umur lo berapa?” Tanyaku. “Tahun ini mau 19.. ” Jawabnya. “Elo berapa?” “21.. Astaga beda dua tahun doang gausah panggil kak lah.. ” Aku mencoba menolak. Isyana tertawa. “Berasa tua banget ya dipanggil kaka? Hihihi” Kata Isyana sambil tertawa manis. “Eh terus terus, kok sekarang di Singa? Liburan?” “Yaa.. bisa dibilang begitulah.. Ade gue mau kuliah disini, baru mau masuk.. Gue bantu bantuin dia pindahan aja mumpung lagi summer vacation juga kan.. ” “Oh gitu.. Emang ade lo kuliah dimana? Cewe cowo?” Tanya Isyana jadi penasaran. “Aduh gue lupa namanya.. Nanyang nanyang gitu kalo ga salah, sekolah musik gitu deh.. Cewe sih ade gue.. ” Jawabku sambil mencoba mengingat ingat dimana kampus adikku kuliah. “Sekolah musik? NAFA? Nanyang Academy of Fine Arts?” Tanya Isyana penuh antusias. “Ah iya itu kayanya..” Ucapku santai. “Ih sama kaya gue lhoo ituu!” Ucap Isyana girang. “Siapa siapa nama adek lo? Ntar gw jagain deh selama disini.. ” Lanjutnya. Oh my God.. Senyumnya.. Gelak tawanya.. Sifatnya yang periang.. Diam diam aku merasa tertarik padanya. Isyana kemudian menceritakan bahwa dirinya sudah berada di Singapura dari semenjak lulus sma, bakatnya dibidang musik membuahkan beasiswa penuh untuk belajar di Nanyang Academy of Fine Arts. “Terus sekarang lagi ngapain nih sendirian gini di taman?” Tanyaku ketika Isyana selesai menceritakan kisahnya. “Oh, ini nih.. lagi dengerin lagu.. Gue mau ikutan kompetisi gitu.. Nah harus nyanyiin lagu wajibnya, makanya gue daritadi dengerin lagu ini buat gue pelajarin.. Gituuu.. ” Kata Isyana menjelaskan panjang lebar. “Elo sendiri? Kenapa sendirian? Bukannya bantuin adek pindahan.. ” Isyana balik nanya. Ah.. Aku jadi teringat lagi dengan stress ini.. “Emm.. Engga ada yang spesial sih.. Emang pengen sendirian aja tadi.. ” Ucapku berusaha menutupi. Tidak mungkin kuceritakan masalahku yang sedang kesulitan beradaptasi dengan kehidupan di Praha.. Bagaimana pemain pemain muda disana sangat kompetitif dan selalu menyulitkanku untuk bisa masuk ke tim utama. Hingga kini, aku belum pernah menembus tim inti Sparta Praha. Jangankan bermain untuk tim inti, terdaftar menjadi substitute saja tidak pernah.. Ada gosip dari manajemen yang bilang kalo kontrakku yang hanya dua tahun tidak akan diperpanjang bila keadaannya begini terus. “Eh.. kalo mau, ikutan main bola aja yuk.. Temen temen gue yang cowo suka main bola lho tiap sore.. Elo ikutan aja, biar tetep fit.. ” Ajak Isyana. “Ah engga enaklah.. masa ga kenal tiba tiba gabung.. ” Aku menolak usulnya. “Iihh banyak orang Indonya juga ko.. Lagian kadang mereka suka kurang satu dua orang.. pasti mereka nerima nerima aja ko ada orang baru.. ” Ucap Isyana bersikeras. “Yaudah deh.. tapi hari ini gue ga bisa yaa.. ” Aku akhirnya luluh dan menuruti Isyana. “Ya engga hari ini juga ya Dipta.. Kalo mau, besok jam jam segini kita ketemuan lagi deh disini.. Nanti gue temenin.. Okay?” Kata Isyana mengatur jadwal. Aku mengangguk pelan. “Sip kalo gitu.. Sekarang gue mau balik.. Mau latihan nyanyi di rumah.. ” Kata Isyana yang lalu beranjak dari kursi, “Elo masih mau disini atau?” “Eh.. Mmm gue juga balik aja deh.. Besok kita ketemuan disini ya berarti?” Tanyaku mengkonfirmasi janjian kita tadi. “Iyeesss.. see you tomorrow yaa?” Isyana mengangguk kemudian berjalan pergi meninggalkanku yang masih terpesona dengannya. Bener bener wanita yang menarik..
==================================
Nanyang Public Footbal Field, Nanyang Technological University – Singapore Hap, aku mengontrol bola yang dioper kepadaku dengan mudah. Aku lalu langsung melihat sekelilingku dan melihat salah satu rekan timku yang berada di sayap berlari dan memberi sinyal untuk umpan terobosan. Segera saja aku menendang bola ke pojok kanan lapangan untuk memberikan umpan terobosan bagi rekanku yang berlari itu. Umpanku cukup akurat dan rekanku berhasil mengontrol bolanya dengan baik dan mendapat celah yang cukup besar setelah menang adu sprint dengan bek lawan untuk crossing ke kotak pinalti, striker timku segera berlari mengambil posisi. Dia lalu melakukan crossing dan.. Ahh.. sayang crossingnya tidak terlalu terarah dan jatuh tepat di pelukan kiper. Teriakan kecewa beberapa penonton terdengar setelah melihat usaha penyerangan kami gagal. Aku segera bersiap siap untuk memotong bola counter attack yang pasti akan dilempar kiper ke salah satu pemain yang kosong. Saat ini ada dua pemain yang meminta bola, satu striker, satu lagi winger. Bahaya.. Keduanya bisa menjadi basis pertama serangan balik. Aku segera memberi sinyal kepada bek sayap timku untuk mengcover si pemain sayap sementara aku mencoba menjaga si striker yang cukup jangkung itu. Namun sengaja aku tidak terlalu dekat dari si striker, aku mencoba memancing kiper untuk mengoper bola kepadanya lewat bola bawah. Pancinganku berhasil! Kiper lawan melempar bola ke bawah, bola itu memantul di tanah beberapa kali dan mengarah ke striker jangkung yang tepat berada di tengah lapangan itu. Dengan cepat aku segera sprint, kuposisikan badanku berada di blindside si striker agar ia tidak tahu kalo aku berusaha merebut bola yang datang kepadanya. Ah ini dia saatnya. Sebelum si striker itu mengontrol bola dengan kakinya, aku telah tiba dan meng-intercept bola tersebut dan segera ku dribble secepat yang kubisa dan kubawa ke dekat kotak pinalti. Beberapa pemain tengah lawan langsung mencoba menutupku. Aku sudah mengantisipasi ini, dari sela sela badan pemain lawan kulihat ada satu pemain yang terbuka posisinya. Langsung saja bola ini kuoper kepadanya dan aku segera berlari melewati kedua pemain tengah yang kaget melihatku masih bisa mengoper ke orang lain meskipun telah mereka jaga. Aku langsung kembali meminta bola kepada pemain yang tadi kuoper, pemain itu mengerti dan segera memberikan kembali bola kepadaku yang sudah merangsek masuk di dekat kotak pinalti. Salah satu bek lawan membaca operan ini. Tapi justru itu yang kuharapkan, dengan bek itu mencoba meng-intercept operan ini, dia akan meninggalkan posisinya dan membuat satu striker timku terbuka bebas. Benar saja, bek itu segera maju untuk meng-intercept, namun aku yang sudah siap tanpa mengontrol bola segera memberikan operan terobosan kepada si striker yang kosong. Si striker itu akhirnya berada dalam situasi one on one. Sang kiper keluar maju daaann.. Oh nice skill.. aku mengira si striker akan menendang, tapi ternyata dia dengan tenang mampu menggocek kiper lawan dan menendang bola dengan santai ke gawang yang kosong. “Gooooaaallll!” Teriak rekan timku senang dan sebagian berlari menghampiri si striker, sebagian lagi menghampiriku yang sudah berjasa besar untuk terjadinya gol barusan. Beberapa penonton juga bersorak kegirangan melihat aksi gol cantik tadi.. “Nice work man.. ” Ucap salah satu rekan timku “You really are a pro!” Lanjutnya, kita berdua lalu ber-high five ria. “Thanks bro.. Appreciate it!” Ucapku santai. Tak lama si striker yang membuat gol menghampiriku dan berterimakasih atas assist yang kubuat untuknya. Inilah kegiatanku sekarang.. Bermain bola bersama anak anak kuliahan di lapangan bola Marina Bay. Tentu saja mereka bukan levelku dan aku dengan mudah di tiap permainan menjadi jendral di lapangan tengah. Salah satu kekuatanku sebagai pemain tengah adalah visi bermainku yang kuat. Aku bisa membaca permainan dan tenang saat menguasai bola.. Jadi aku selalu menjadi orang pertama dalam tim untuk menentukan kemana serangan dimulai. Semenjak aku pergi ke Sparta Praha, ini yang menghilang dari dalam diriku.. Tapi aku mendapatkan sesuatu yang sangat berharga disini, kepercayaan diri! Ini yang sejujurnya kubutuhkan.. kepercayaan terhadap diriku sendiri bahwa aku bisa bermain dengan baik. Kepercayaan diri yang akan mengembalikan form ku saat musim berikutnya di Praha dimulai. Aku melihat Isyana bersama adikku sedang menyorakiku dari pinggir lapangan. Isyana bertepuk tangan dengan girang sambil melambaikan tangannya kepadaku. Sudah lebih dari seminggu semenjak aku pertama kali berkenalan dengan Isyana.. Kini aku dan dia semakin dekat, apalagi setiap hari aku selalu bertemu dengannya untuk pergi bersama ke lapangan ini. Oh Isyana.. Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk membalas semuanya yang telah kau berikan kepadaku ini.. Aku lalu bergantian dengan rekan timku, kemudian berjalan ke arah Isyana dan adikku. “Lho? Ko udahan?” Tanya Isyana ketika aku menghampiri mereka berdua. “Iya ah.. capek juga kali dari kemaren kemaren main full terus.. ” Ucapku mengelak. Padahal sebenarnya aku ingin mengajak Isyana jalan jalan hari ini. Aku ingin.. mengungkapkan perasaanku kepadanya.. Aku sebelumnya sudah memberitahu adikku, Shinta, bahwa aku ingin mengajak Isyana pergi hari ini dan dia akan pulang sendiri, adikku setuju.. Dia merasa senang dengan kedekatanku dengan Isyana. “Oh gitu.. Yahh.. Kalian mau balik dong?” Tanya Isyana sedikit kecewa. “Eh ke roti es krim itu yuk, shin? Na, elo mau ikut ga beli roti es krim?” Ucapku mulai menjalankan rencanaku. “Ah aku mau pulang aja ah ka.. Ka Isyana, temenin ka Dipta aku yaa?” Kata adikku mengikuti rencanaku. “Ka Dipta kan belom afal afal jalan di singapura.. ntar dia nyasar lagi.. ” lanjutnya ngikik. “Hiiihh kakak lo tuh yaa.. Singapura kan kecil.. masa ga afal afal sih.. ” Gerutu Isyana bercanda. “Yee.. situ kan enak udah berapa tahun tinggal disini.. ” Ejekku, dalam hati berharap Isyana mau menemaniku. “Dasarrr, ngejawaabb aja.. Yaudah gue temenin, tapi traktir gue yaa?” Kata Isyana manja memberikan syarat. “Iyaaa tenang aja udaahh.. ” Jawabku sambil mengambil handuk dan baju ganti untuk membilas badanku. “Gue mau beli empat! Hehehee.. ” Tawa Isyana kepadaku. “Astagaa.. awas lho yaa kalo ga abis..” Ucapku mengikuti candaannya. “Mendingan gue kasih ke anak anak di Afrika” Ucapku mendramatisir. “Iiihh Lebay deh kakak lo Shin kadang kadang.. Yaudaahhh cepetan deh bilas loo.. ” Kata Isyana sedikit mendorongku untuk segera membilas diriku.
=================================================
“Elo di Singa sampe kapan Dip?” Tanya Isyana saat kita berdua sedang berjalan kaki menuju Tukang jualan Roti Es krim yang sudah melegenda di Singapura. “Mmm.. Ga tau juga yaa.. Elo maunya sampe kapan?” Tanyaku mencoba menggodanya. “Aaahh Dipta.. Serius nih gue nanyanya.. ” Ucap Isyana sedikit merengek. “Hehehe.. Serius gue juga.. sampe sekarang belom beli tiket nih.. Yang pasti sih sebelum pemusatan latihan Sparta Praha dimulai, gue udah harus di Praha, Na.. ” Jawabku pelan. Entah kenapa aku jadi terpikir bahwa aku harus pergi dan tidak bertemu dia entah sampai kapan.. “Terus pemusatan latihannya kapan?” Tanya Isyana lagi. “Ada apaan sih emang, tumben banget lo segitu keponya?” Tanyaku jadi bingung dengan Isyana. Sekaligus seneng juga.. Apa dia merasakan hal yang sama kaya aku ya? Takut ga bisa bertemu lagi? “Mmm.. Ga apa apa sih.. Nonton gue dong pas gue lomba nanti.. ” Akhirnya Isyana menjelaskan kenapa dia segitu keponya sama jadwalku. “Oalaahh.. Ada maunya tohh.. Ah ogah.. Ga ngerti opera opera gitu sih gue.. ” Candaku. Tentu saja aku mau Isyana.. Demi bisa selalu bertemu kamu mah apa aja aku iyain pasti.. “Iya sih.. buat yang ga suka sih pasti rada rada bete yaa nontoninnya.. ” Jawab Isyana begitu mendengar responku. “Yeee jangan ngambek gitu doonngg, becanda kali.. iya iya gue dateng.. Apa sih yang engga buat loo.. ” Ucapku sambil menyenggol pundaknya. Isyana melihatku tak percaya. “Beneran? Yeeaayy.. ” Ucapnya girang. “Eh awas lho ya ga dateng! Gue minta traktir ini roti es krim segerobak ntar!” Ancamnya sambil menghentikan langkah dan menunjukku. Duuhh mukanya yang sok mengancam itu membuatku luluh.. Ingin rasanya kuungkapkan perasaanku kepadanya saat ini juga.. Tapi kuurungkan niatku. Kita berdua akhirnya tiba di tukang roti es krim itu. Untuk ukuran pedagang yang sudah melegenda, tukang jualan ini tidak terlihat seperti legenda. Tidak ada tenda besar tempat orang orang duduk menikmati dagangannya.. Tidak ada papan iklan yang terpampang disampingnya.. Yang ada hanya dia saja, seorang bapak bapak beretnis Tionghoa yang sudah lumayan berumur duduk di sebuah kursi plastik berwarna biru di samping gerobak sepedanya yang berwarna metalik dan bertuliskan “Ice Cream Sandwich” berwarna merah. Biasanya ia selalu ramai pengunjung, namun karena aku dan Isyana datang saat hari sudah larut sore, sudah tidak terlalu banyak lagi orang yang membeli dagangannya, apalagi sepertinya langit sedang mendung sekarang. Si Bapak itu sudah tersenyum duluan ketika melihat Isyana dan diriku menghampirinya. Isyana memang sudah sering membeli dagangannya semenjak ia pertama kali ke Singapura. “Hai siirrr!” Sapa Isyana dengan riang kepada si bapak itu dan melambaikan tangannya. “Harrooo Miss Isyana! How are you laa? Wha’ can i do fo’ yu?” Sapa balik si bapak itu dengan aksen Singlish (Singapore-English, aksen perpaduan Inggris dan Melayu-Tionghoa) yang cukup kental. “I’m fine sir.. Umm.. I think i want a Rum Raisin Chocolate flavour this time, do you still have that? ” Kata Isyana sambil melihat ke dalam cooler box gerobak itu. “One Rum Raisin Choklet aa.. Aanndd fo’ your Boyfriend?” Tanya si Bapak itu dengan santai. Aku dan Isyana langsung terdiam mendengarnya. Aku tidak bisa berkata apa apa.. Aduh.. bikin suasanya jadi awkward aja nih ditembak langsung kaya gitu.. Tapi emang aku dan Isyana keliatan kaya pasangan gitu ya? Ah bikin salting nih.. “Ahaha.. We’re just a friend, sir.. ” Ucap Isyana malu.. Si bapak itu terlihat kaget. “Whaa’?? Not a couple? I’m sorry laa.. You look like a couple.. ” Kata si Bapak itu. “Soo.. Wha’ flavour fo’ you?” Tanyanya kepadaku. “I-i-i.. umm.. Cookies and Cream please.. ” Ucapku aga terbata bata. Sial.. Perkataan si bapak itu bener bener langsung kena tepat di hati.. Si bapak itu segera menyiapkan pesananku dengan Isyana. Dengan cekatan ia mengambil Ice cream yang sudah dalam berbentuk balok kotak kotak dan ia potong dengan rapih, kemudian ia mengambil satu tangkap roti dan ia selipkan ice cream yang telah ia potong ke dalam roti itu. Ice Cream Sandwich! Isyana sudah bersiap untuk membayar es krimnya, tapi aku langsung mencegahnya. “Kan gue udah bilang gue yang traktir.. ” Ucapku sambil memberikan $3 kepada si Bapak. Isyana berterimakasih kepadaku. “Thank you sirr.. Keep the change.. ” Ucapku menolak kembalian .50 sen yang akan diberikan si bapak. “Aahh.. Gentleman ah?” Kata si bapak itu. “Hey, young man.. If i were you, i will never let her go.. you understand ha?” Bisiknya kepadaku. Aku terdiam mendengarnya. “Y-y-yes.. Thank You S-s-sirr..” Jawabku. Kamipun berpisah dengan si bapak penjual es krim itu dan mencari tempat duduk di dekat Patung Merlion. Seperti biasa tempat ikonik itu selalu ramai oleh turis yang ingin berfoto dan mengabadikan dirinya bersama patung duyung berkepala singa yang menjadi salah satu ikon Singapura. Aku dan Isyana berhasil mendapatkan sebuah tempat duduk dan kita berdua duduk sambil melihat orang orang yang sibuk mencari gaya masing masing untuk difoto. Isyana sibuk menikmati roti es krimnya dan tidak mengajakku ngobrol sama sekali. Aku pun bingung ingin berkata apa kepadanya. “Eh.. Mau tau sesuatu ga?” Tiba tiba Isyana ngomong. Thank God.. lumayan lah pecah juga ini keheningan.. “Apa tuh?” Responku berusaha santai. “Selama gue di Singa, gue belom pernah lho foto di Merlion.. ” Kata Isyana memberikan pengakuan sambil tersenyum malu. Orang Indo yang tinggal di Singapura biasa menyingkat negara ini menjadi ‘Singa’. “Oh ya? Serius lo?” Tanyaku tak percaya. “Serius!” Jawab Isyana singkat sambil melahap Roti Eskrimnya. “Yaudah pas kalo gitu mumpung kita lagi disini.. Yuk gue fotoin.. ” Ucapku langsung berdiri dan mengajaknya berfoto. Isyana menggelengkan kepalanya. “Aaahh.. Malu aahh guee, banyak orang gini.. ” Katanya. Ga biasanya dia jadi malu kaya gini. “Duuhh gimana ntar mau nyanyi buat kompetisi di depan ribuan orang.. foto di tempat serame ini aja ga berani.. Udah ayoo gue temenin!” Aku berusaha membujuknya. “Ih ga di depan ribuan orang juga woo.. Lebay deh.. ” Kata Isyana sambil mencibir. “Yaa elo tau lah maksud guee.. ayo yuukk!” Aku tetap menyemangatinya untuk foto di Patung Merlion dan tanpa aku sadari aku merain tangannya untuk membangkitkannya dari tempat duduk. Isyana akhirnya bangkit dan menurut aja saat aku menggenggam tangannya dan menuntun dia menuju ke dekat Patung Merlion itu. Begitu sampai di pagar pembatas, aku melepaskan tangannya dan segera mengambil handphoneku dan bersiap memotretnya. Isyana tampak malu malu dan salah tingkah. “Aduh, Dipta.. Gayanya gimana niih?” Kata Isyana setengah berteriak kepadaku sambil menjaga Roti Eskrimnya agar tidak berceceran. “Terseraahh.. Kaya lagi difoto aja gayanya..” Ucapku asal dan melihat ke layar handphoneku. Wajah Isyana terlihat bingung. Dia lalu mencoba tersenyum dan melihat ke kamera. “Gini kali yaa?” Teriaknya sambil menahan posenya. Aku mengangguk dan segera memotretnya berulang kali sambil mengatur angle yang tepat layaknya fotografer handal. “Coba liaat!?” Pintanya kepadaku. Aku segera menghampirinya dan menunjukkan hasil jepretanku. “Idiih banyak banget.. ngefans mas sama saya?” Kata Isyana spontan begitu melihat banyaknya gambar yang kuambil. “Yee.. itu biar lo banyak pilihan.. ntar lo pilih yang bagus, gue kirim ke elo terus sisanya ya gue apus laahh..” Ucapku sambil melihat terus gambar yang barusan kuambil bersama Isyana. “Eh coba coba kita foto lagi dong berduaa!” Kata Isyana langsung mengambil hapeku. Aku berusaha stay cool, padahal dalam hatiku berbunga bunga.. “Yuk.. Ayo gaya yaaa!” Kata Isyana setelah mengubah ke kamera depan. Dia mengangkat hapeku dan di layar terlihatlah aku dan dia berdiri saling berdekatan dengan latar Patung Merlion yang sedang mengeluarkan air pancur dari mulutnya di kanan belakang kita berdua. Kita berdua mencoba tersenyum, aku mencoba sebisaku untuk terlihat menarik. Isyana lalu mengambil gambar beberapa kali. “Ganti gaya doongg!” Ucapnya. “Dih tadi aja malu malu..” Gerutuku padanya. “Tadi kan sendiri.. sekarang ada temennya.. ayoo gayaa!” Perintahnya kepadaku. Aku bingung harus bergaya seperti apa, aku lalu bergaya seperti orang bingung saja dan mataku melirik ke Isyana. Sementara itu Isyana bergaya seperti orang yang akan melahap Roti Es krimnya dan tidak melihat ke kamera. Cekrek. Gambar itu terambil sudah. “Aahh lucuuu!” Kata Isyana saat melihat hasil gambarnya. “Lucu banget yaa kita berdua disini!” Kata Isyana sambil melihatku dan tersenyum senang. Aku melihatnya dan sepertinya di bibirnya ada bekas es krim. Spontan aku mengelap bekas es krim tersebut dengan jariku. Isyana tidak bereaksi apapun, ia justru malah mentapku dalam dalam dan menghentikan tanganku. Aku kaget dan tersadar dengan apa yang kulakukan. “So-sorry, Na.. Itu ada bekas es krim di bibir l-l-lo..” Ucapku sedikit panik. Isyana lalu mencoba melepaskan tanganku dan dia mengelap bibirnya dengan tangannya sendiri. Otakku langsung menyuruhku untuk mengungkapkan perasaanku sekarang juga. Kita berdua sedang berdiri berdekatan dengan latar belakang Patung Merlion, tidak ada lagi momen yang lebih tepat dari sekarang.. Jantungku langsung berdegup kencang.. “Na.. ” Ucapku pelan. Berharap Isyana tidak mendengarnya, tapi di lubuk hati terdalam berharap ia mendengar. “Ya?” Respon Isyana yang langsung melihatku. “Gu-gue pengen ngomong sesuatu.. ” Aku memberanikan diri untuk membuka kalimat itu. “I-iya Dip?” Kata Isyana pelan. “Gue.. G-gu-gue.. ” Brrrrrsssshhhhhhh…… Hujan tiba tiba turun dengan derasnya. Semua orang termasuk diriku tidak menyangka akan datangnya hujan ini. Aku dan Isyana segera berlari berdua mencari tempat berteduh bersama begitu banyak orang lainnya. Karena kita berada di tempat terbuka, kita harus berlari aga jauh untuk mendapatkan tempat berteduh.. Alhasil begitu kita sampai ke daerah bangunan terdekat, pakaian kita semua sudah terlanjur basah oleh air hujan. Isyana tertawa saat melihat diriku sibuk mengelap bajuku yang basah kuyup. Sisa roti eskrim yang belum habis juga terpaksa kubuang ke tempat sampah karena sudah hancur terkena air hujan. Dia mengusap mukanya dari air lalu berkata kepadaku, “Dip.. Main ujan ujanan yukk sekalian pulang.. ” Kemudian tanpa menunggu responku dia menarik tanganku dan mengajakku berjalan. Isyana terlihat begitu menikmati hujan hujanan ini. Dia bahkan mengangkat kedua tangannya dan menengadahkan kepalanya ke atas untuk langsung terkena air hujan di mukanya. Sepanjang perjalan sampai menuju ke pintu masuk MRT, Isyana tampak menikmatinya. Aku pun dibuat terheran olehnya. Kami berdua mengeringkan diri kami di pintu masuk MRT agar tidak membuat becek. Orang orang melihat kami dengan heran yang mau berhujan hujanan seperti itu. Setelah tidak terlalu basah, kami akhirnya masuk ke dalam stasiun MRT dan naik MRT menuju ke tempat tinggal Isyana. Aku bersikeras menemaninya hingga sampai ke rumahnya sebelum aku pulang ke tempat adikku.
=============================================================
Isyana mempersilahkanku masuk ke flat nya. Kita berdua terpaksa hujan hujanan lagi begitu keluar dari stasiun MRT dan berlari melwati hujan hingga sampai ke flat Isyana. Tadinya aku ingin langsung pamit, tapi Isyana memaksaku untuk naik dan berteduh sementara supaya ga masuk angin. “Duuh maaf yaa ngerepotin.. ” Ucapku kepadanya saat masuk. “Santai ajaaa.. Bentar yaa gue ambilin handuk.. ” Kata Isyana yang langsung sibuk begitu sampai di flatnya sampai sampai lupa menyalakan lampu kecuali lampu di pintu masuk. Aku menunggu di dekat pintu agar tidak membasahi lantai flatnya. Aku tidak bisa melihat jelas isi flatnya yang masih gelap. “Yaampun, ngapain coba berdiri disitu.. masuk aja sih udah!” Kata Isyana saat kembali kepadaku sambil membawa handuk untukku. Dirinya sendiri sedang mengelap rambutnya dengan handuk yang lain. “Thanks” Ucapku sambil mengambil handuk yang diberikan Isyana “Ga apa apa nih ya gue masuk?” Tanyaku memastikan. “Iyaa ga apa apaa..” Kata Isyana yang kembali berlalu dan tampak membereskan sesuatu. “Maaf yaa kalo berantakan.. ” Suaranya terdengar dari ruangan lain. Ia lalu menyalakan lampu lampu ruangan. Flatnya cukup bagus, ruangan dapur beserta meja makan langsung menyambut di dekat pintu masuk, ruang tamu di dekat balkon lengkap dengan televisi dan seperangkat sofa bergaya minimalis kemudian dua kamar tidur dengan satu kamar mandi diantara kedua kamar itu. “Eh kalo mau minum ambil sendiri aja yaa.. Seduh teh aja juga boleehh.. itu kopi teh dan semacamnya ada di deket kulkas.. Gelas buka buka aja laci di lemari dapur” Suara Isyana terdengar lagi dari salah satu kamar. “O-Okaayy.. ” jawabku sambil mencari gelas. Badanku mulai terasa menggigil nih.. Sebelum aku jatuh sakit, sepertinya minum segelas teh hangat adalah ide yang baik.. Dalam sekejab akupun lalu membuat segelas teh panas dan segera kupegang gelas itu dengan kedua tanganku untuk mentransfer panas teh itu ke tanganku. Kemudian panas yang ada di tanganku kusebarkan ke seluruh tubuhku. Kutepuk tepukkan tanganku ke leher dan ke dada agar membuat suhu tubuhku hangat. Namun karena bajuku yang masih basah, dengan cepat aku kembali menggigil kedinginan. “Eh kalo mau mandi air anget mandi aja yaa.. Gue tadi baru aj.. Astaga..” Isyana menghentikan kalimatnya saat melihatku yang menggigil di dapur sambil memegangi segelas teh yang kubuat. “Itu baju lo kenapa ga dilepas Diptaa? Nanti masuk angin lhoo.. ” Kata dia lagi. Isyana sudah mengganti bajunya menggunakan Tanktop warna marun dan celana piyama. Kulit putihnya yang mulus terlihat sangat jelas sekali di pundak dan lengannya yang tidak tertutup sehelai benangpun. “G-g-ga a-da b-ba-j-ju la-g-gi gu-e” Ucapku terbata bata karena menggigil kedinginan. “Yaampun kan masih ada baju bekas elo main bola tadi yaa? Pake aja lagi.. Ayo cepetan dilepas.. Nanti sakit ih!” Kata Isyana panik sendiri. Iya juga yaa.. Aku kan masih ada baju bekas tadi main bola.. Ga kepikiran.. Isyana lalu menolongku melepaskan bajuku yang masih basah. Sejenak Isyana tertegun melihat badanku yang telanjang tanpa mengenakan baju. Akupun tertegun saat melihat Isyana berada begitu dekat denganku. Ingin rasanya aku memeluk dia.. “Umm.. Mana tas lo? Ah iya.. ini.. ” Kata Isyana grogi kemudian mengoper tasku yang juga basah, untung kedap air, sehingga dalamnya tetap kering. Aku mengeluarkan baju beserta hapeku dan hape isyana dari tasku dan kuletakkan diatas meja sementara aku akan memakai baju bekas ku main bola tadi. “Eeehh.. badan lo masih basaahh!” Tiba tiba Isyana mengambil handuk dan mengelap dada dan perutku yang memang masih basah. Aku awalnya ga merasa apapun hingga akhirnya sadar akan apa yang Isyana lakukan. Aku yang lebih tinggi dari dia dapat dengan jelas memandang wilayah dadanya yang sedikit terlihat karena dia sedikit membungkuk saat mengelap perutku. Kedua payudaranya terlihat menyembul dari balik tank topnya yang sedikit terbuka. Putih, mulus dan bening.. Astaga.. Benar benar seperti bidadari.. Isyana akhirnya tersadar dengan apa yang ia lakukan, saat mengelap badanku dengan handuk lama lama dia berhenti dan sedikit melirikku. “Ma-makasih, Na.. Udah enakan ko gue.. ” Ucapku pelan. Momen ini.. Momen ini muncul lagi.. “Sama sama, Dip.. ” Kata Isyana pelan. Dia lalu berbalik dan berjalan menjauhiku. “Na.. ” Panggilku. “Ya, dip?” Isyana berhenti dan sedikit menengok. Tangannya masih memegang handuk yang ia pakai untuk mengelap dadaku, ia pegang erat erat. “Gue.. sayang sama lo, Na.. ” Akhirnya kukumpulkan keberanianku dan kuungkapkan perasaanku kepadanya. Aku menanti reaksi Isyana. Namun yang terjadi malah diluar dugaanku. Isyana membalikkan badannya dan terlihatlah kalau dia sedang menangis. Aku langsung menghampirinya dan langsung memeluknya. “Lo kenapa nangis, Na?” Tanyaku bingung sambil mendekapnya erat. Isyana terus terisak dipelukanku. “Dipta.. Maaf.. Tapi Isyana udah punya seseorang.. Maaf Dipta.. ” Ucap Isyana menahan isakan tangisnya. “Isyana nyoba untuk nganggep Dipta sebagai temen.. Tapi ga bisa.. Isyana harusnya ga ngasih Dipta harapan kaya gini.. Maaf Dipta.. Aku tau aku egois.. ” Sesuatu yang lebih menusuk dari rasa menggigil berkecamuk di dalam badanku saat mendengar Isyana berkata seperti itu. Matakupun berkaca kaca, namun aku harus tegar.. Aku harus menerima ini semua dengan lapang dada. Aku tidak mau juga merebut seseorang dari orang lain. Kupeluk Isyana lebih erat, dan kukecup keningnya. “Ga apa apa ko.. Dipta yang harusnya minta maaf.. Maaf aku udah gangguin kisah kamu dengan dia ya, Na.. Aku ga tau kalo kamu udah punya seseorang” Ucapku sambil melepas pelukanku. Tangis Isyana meledak. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan handuk yang tadi ia pakai untuk mengelapku. “Aku pamit pulang, Na.. ” lanjutku sambil memakai bajuku bermain bola tadi dan meretsleting tasku lalu beranjak ke pintu. Isyana segera berlari menghampiriku dan memelukku dari belakang dengan erat sebelum aku membuka pintu. Aku terdiam beberapa saat kemudian membalikkan badanku. Kuangkat dagu Isyana yang tertunduk. Dan kucium dengan lembut bibirnya. Kupeluk dirinya dengan erat dan kusudahi ciuman itu. “Semoga kamu menang ya Na di kompetisi nanti..” Ucapku kemudian segera keluar meninggalkan Isyana yang tidak dapat bergerak. Di jalanan masih hujan cukup lebat. Tapi tidak kupedulikan. Aku berjalan dengan cuek di trotoar di tengah derasnya hujan. Hatiku hancur.. Air mataku mengalir deras, namun tersamarkan oleh air hujan yang deras menimpa mukaku. Saat berjalan ditengah hujan, tidak ada yang bisa melihatmu menangis.. Setelah hari itu, aku tidak lagi bertemu Isyana. Aku berikan semua foto yang kuambil saat di Merlion kepada adikku, biar dia yang nanti mengirimkan langsung ke Isyana. Aku memutuskan untuk segera pergi dari Singapura keesokan siangnya. The sooner the better. Sebelum aku boarding pesawat, aku cek kembali hapeku dan melihat gambar.. Ah masih ada satu gambar yang belum kuhapus, fotoku berdua dengan Isyana yang mukaku bergaya bingung dan Isyana yang bergaya memakan Roti Eskrim. Kukirimkan foto itu ke kontak Whatsapp Isyana. Kutuliskan caption “Bila memang ini ujungnya, Kau kan tetap ada.. Di dalam jiwa.. ” Langsung kumatikan hapeku, kukeluarkan simcardnya dan kubuang ke tempat sampah, dan akupun boarding pesawat ke Perancis. Dari situ aku akan pindah pesawat dan terbang ke Praha, untuk melanjutkan karirku. Di Praha, kualirkan semua emosiku yang berkecamuk ini di lapangan. Emosiku membuatku makin termotivasi dan lambat laun membuatku menjadi lebih dewasa dan sabar. Ini semua mempengaruhi permainanku yang makin lama mulai membaik. Keputusanku saat bermain di lapangan makin membaik dan kepercayaan diriku semakin bertumbuh. Akupun mulai sering dipanggil latihan bersama tim inti Sparta Praha hingga akhirnya momenku tiba. Aku menjadi substitute dan masuk saat kapten tim Borek Docikal harus ditandu keluar lapangan karena cedera. Kumanfaatkan kesempatan bermainkan dengan semaksimal mungkin dan langsung terlibat dengan permainan tim. Dengan cepat aku langsung menjadi pusat permainan, ritme permainan aku yang atur dan arah serangan aku yang menentukan. Manager tim Zdenek Scasny memuji debutku saat post match press conference, menurutnya aku telah banyak improv semenjak kembali dari summer holiday dan akan mendapat lebih banyak kesempatan bermain mulai saat ini. Dan dia tidak berbohong, selama satu musim aku mendapat kesempatan 21 main bermain dengan 14 diantaranya berada di starting line up. Aku juga ditawarkan kontrak baru dalam durasi 4 tahun hingga tahun 2015 dan diberikan kenaikan gaji yang cukup signifikan. Akhirnya aku bisa sukses di Praha.. Dalam 4 tahun berikutnya, aku telah tampil untuk Sparta Praha sebanyak 83 kali dengan mencetak 24 gol dan menjadi salah satu pemain favorit pendukung klub ini. Sayang selama aku bermain di Sparta Praha, klub ini tidak pernah lolos kualifikasi Liga Champions.. Pentas yang menjadi targetku berikutnya. Beberapa klub top Perancis dan Belanda berminat merekrutku, namun mereka terhalang oleh aturan Non EU Player yang kurang lebih menjelaskan bahwa pemain diluar kebangsaan Eropa yang rangkingnya masih rendah tidak dapat bermain di liga liga teratas Eropa. Aku yang berasal dari Indonesia tentu saja mengalami kesulitan karena ranking Indonesia tidak pernah menembus 100 besar.. Namun ada jalan keluarnya.. Pemain yang negara kebangsaannya diluar peringkat 100 besar itu tetap bisa bermain di liga liga teratas, asalkan pemain tersebut merupakan pemain yang memiliki talenta yang berlebih , Exceptional Talent menurut bahasa Inggrisnya. Salah satu kriteria mendasar pemain yang memiliki Exceptional Talent ini adalah, pemain yang mampu mengangkat Timnasnya maju hingga mendapatkan prestasi ataupun menjadi pemain terpenting untuk Timnasnya untuk beberapa waktu. Agenku segera menganjurkanku untuk mulai bermain untuk Timnas Indonesia agar aku bisa mendapatkan kriteria Exceptional Talent. Namun aku ragu.. Kembali ke Indonesia? Semenjak pertemuanku dengan Isyana aku sudah jarang kembali ke Indonesia.. Kalaupun kembali hanya saat liburan hari raya saja dan bertemu keluarga.. Entahlah, aku tidak terlalu ingin berlama lama di Indonesia.. Kenangan dengan Isyana masih sangat membekas di dalam diriku, dan pergi ke Indonesia hanya akan terus mengingatkanku kepadanya.. Apalagi terakhir kali aku kembali ke Indonesia, Isyana sedang naik naiknya di industri musik Indonesia. Dimana mana selalu kudengar namanya.. Namun di sisi lain aku menginginkan diriku berlaga di level berikutnya. Aku tau diriku mampu melakukan itu. Untuk sementara ini aku memperpanjang kembali kontrakku dengan Sparta Praha selama 3 tahun hingga 2018 dengan Release Clause yang tidak terlalu tinggi. Lalu agenku mulai mengontak pihak PSSI dan menunjukkan performaku selama berada di Sparta Prague. Tentu saja PSSI langsung sangat tertarik, mereka mengaku kaget karena tidak mengetahui ada pemain sepertiku yang bermain dengan stabil di Eropa. Akupun langsung diberitahu bahwa Timnas Indonesia akan memanggilku untuk berlaga di Kualifikasi Piala Dunia 2018. Semuanya berjalan sesuai dengan harapanku.. Hingga akhirnya Sanksi FIFA itu datang. Presiden Jokowi lewat Menpora mengumumkan bahwa PSSI akan segera dibekukan demi mempersiapkan PSSI menjadi lembaga yang profesional. Keputusan mengintervensi kinerja PSSI ini bertentangan langsung dengan Statuta FIFA, dan FIFA sebagai lembaga tertinggi di dunia Sepakbola akhirnya menjatuhkan sanksi pelarangan Indonesia untuk terlibat dalam segala hal yang berhubungan dengan kegiatan FIFA hingga Pemerintah Indonesia melepaskan Intervensinya. Timnas Indonesia yang tadinya akan menjalani laga kualifikasi pun harus dibatalkan. Aku seperti kehilangan semangat bermain.. Form ku mulai menurun dan lama lama mulai kehilangan tempat regulerku di Tim. Aku berada di titik terendahku selama karier sepakbolaku. Selama tiga tahun berikutnya aku hanya mampu tampil sebanyak 27 kali dan mencetak 3 gol saja, bahkan di tahun terakhirku aku hanya bermain 5 kali saja, itupun satu kali untuk menghormatiku yang akhirnya tampil untuk Sparta Praha sebanyak 100 kali.. Di akhir musim 2017/2018 Kontrakku dengan Sparta Praha akhirnya habis dan tidak diperpanjang. Sebenarnya masih banyak klub klub yang berminat untuk menggunakan jasaku, namun aku menolaknya karena aku sudah tidak ingin bermain lagi di Eropa. Beberapa klub dari Australia, Tiongkok, Jepang, Thailand, dan Malaysia tertarik untuk mendatangkanku setelah mendengar aku tidak ingin bermain di Eropa. Aku masih belum menentukan pilihanku.. Aku ingin menikmati waktuku dulu di Jakarta. Satu hal yang pasti. Aku harus mengubur mimpiku bermain di Liga Champions.
ACT 1 – END
#2
ACT 2
The Chosen One
Stadion Gelora Bung Karno, Senayan – DKI Jakarta Aku mengikat tali sepatuku dengan benar dan kemudian berdiri untuk melihat situasi di sekitarku. Stadiun Gelora Bung Karno berdiri tegak dihadapanku. Sinar mentari sore memancarkan cahaya kuning keemasan kepada apapun yang terkena sinarnya termasuk Stadion GBK. Banyak orang orang dari berbagai usia yang tampak sedang berlari sore mengelilingi stadiun GBK. Akupun juga akan memulai rutinitasku untuk berlari sore. Setelah melakukan pemanasan, aku lalu mulai berlari pelan dan mengikuti jalur melingkar stadiun GBK. Kupasang timer di jam tanganku, targetku? 10 Putaran dalam 30 menit. Begitu waktu sudah aku set, aku segera berlari dengan kecepatan teratur yang tidak terlalu kencang namun tidak juga lambat. Perlahan tapi pasti aku mulai melewati orang orang yang berlari di depanku. Terkadang ada beberapa orang yang merasa tertantang ketika dirinya kusalip, beberapa saat kemudian ia segera menyusulku dan berlari melewatiku. Aku tidak terlalu peduli.. silahkan saja dia mendahuluiku, karena aku yakin cepat atau lambat pasti dia akan kembali melambat dan aku akan melewatinya lagi. Kulihat waktu di jam ku. 12 menit berlalu dan aku sudah menyelesaikan 3 putaran. Ah.. aku harus mempercepat kecepatan lariku jika aku mau selesai sesuai target.. Segera kupercepat langkah kedua kakiku. Kurasakan detak jantungku mulai berdebar lebih kencang dan adrenalinku mulai terpacu. Keringat mulai membasahi tubuhku. Fisikku sudah sangat menurun.. Mungkin ini karena faktor tidak pernah lagi latihan fisik secara intensif semenjak aku keluar dari Sparta Praha.. Jika begini terus, aku tidak akan mungkin menyelesaikan target 10 putaranku dalam waktu 30 menit.. Tiba tiba dari jauh aku melihat ada kerumunan orang. Ada apa ini? Aku bertanya tanya dalam diriku. Saat aku makin mendekati kerumunan itu aku melihat mereka seperti sedang mengerumuni seorang wanita. Artis mungkin? Sambil memperlambat laju lariku aku menengok ke tengah kerumunan orang itu berharap bisa melihat siapakah yang sedang dikerumuni. DEG. Jantungku berhenti sesaat. Isyana. Ya.. Isyana.. Wanita itu tampak sedang dikerumuni oleh orang orang yang sibuk memintainya tanda tangan dan berfoto bareng. Isyana tampak kewalahan menghadapi mereka semua. Aku juga tanpa kusadari menghentikan lariku dan terus melihatnya, entah apa tujuanku terus melihatnya.. Padahal inilah alasan utamaku jarang pulang ke Indonesia.. Agar tidak terus mengingat dia.. Namun nasib berkata lain, belum lama aku kembali tinggal di Indonesia, malah aku bertemu dengannya.. Dan bukannya aku berlalu pergi, aku malah terus menatapnya.. Mungkin dalam hati kecilku aku berharap ia melihatku dan ah.. otakku terlalu sering berfantasi.. Tapi memang itu yang terjadi.. Isyana melihatku. Tatapan mata kita berdua beradu. Aku berusaha mengalihkan perhatianku melihat obyek lain, tapi akhirnya aku kembali menatapnya. Isyana kali ini tampak bergerak melewati kerumunan orang orang itu dan menghampiriku sambil tersenyum kepada mereka dan seperti meminta agar diperbolehkan lewat oleh mereka. Kerumunan orang itu menurut dan perlahan membuka jalan. Isyana terus berjalan hingga akhirnya hampir mendekatiku. Semua mata orang orang memandangku. “Please jangan ngomong apapun dan mulai lari lagi.. ” Ucapnya sedikit berbisik kepadaku dan kemudian menggandeng lenganku. Aku entah kenapa malah menurutinya dan ikut berlari di sampingnya hingga akhirnya kita berdua mulai menjauhi kerumunan orang orang itu. Selama kita berdua saling berlari, aku tidak mengucapkan sepatah katapun. Aku mencoba meliriknya dan melihat dirinya. Dia sekarang terlihat lebih dewasa..Kulitnya masih tetap seputih yang kuingat dulu, namun kini kulitnya terlihat jauh lebih mulus.. Badannya juga terlihat lebih fit dibanding saat aku bertemu dirinya dulu. “Kalo mau ngeliat, liat aja.. Jangan kaya bukan cowo gitu liatnya cuma ngelirik doang.. ” Kata Isyana menyunggingkan senyuman sambil melepaskan pegangan tangannya dari lenganku. Pandangan tidak melihatku tapi melihat ke depan. Aku tertawa malu mendengarnya bilang seperti itu. “Punya indera keenam nih sekarang?” Tanyaku mengejeknya. Akupun tidak mau kalah dan menatap lurus ke depan. “Geer banget.. ‘ Lanjutku. “Ih enak aja geer..” Ucapnya sambil menyenggol lenganku. “Bener kan tapi, tadi kamu ngelirik ngeliat aku?” Tanya Isyana kemudian menengok. Aku tidak bisa menjawab. “Bukannya ngucapin terimakasih udah diselamatin.. ” Cibirku. Isyana sedikit terkejut mendengar cibiranku. “Hahaha.. Ok ok maaf.. Terimakasih yaa udah menyelamatkan aku.. ” ucap Isyana. Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Isyana sekarang sudah jauh lebih dewasa.. Ada aura elegan dari cara bicaranya sekarang, tidak cengengesan seperti gadis kecil lagi. “Kamu sering lari sore disini?” tanyaku mengalihkan topik. “Mmm.. Lumayan sering sih.. tapi akhir akhir ini lagi jarang.. Ini aja baru sekarang lagi lari.. ” Jawab Isyana sambil mengatur nafas. “Kamu apa kabar? Ini lagi liburan di Jakarta?” Isyana kemudian bertanya kepadaku. “Iyaa.. Begitulah.. ” Jawabku singkat. “Main di klub mana kamu sekarang?” Tanya dia lagi. “Mmm.. Rahasia.. ” Jawabku lagi lagi singkat. “Nyebelin, huh.. ” Kata Isyana sedikit kesal kemudian mencubit lenganku. “Hahaha.. Sejujurnya aku lagi bingung mau bermain di klub mana.. Ada beberapa tawaran tapi aku kurang yakin.. ” Aku akhirnya sedikit menjawab. “Ooh udah ga main di Praha lagi dong kalau begitu?” Tanya Isyana. Aku kaget dia masih mengingat bahwa aku bermain di Praha. “Udah engga lagi.. Aku ingin berganti suasana..” Jawabku, kembali ku teringat mimipku yang kandas.. Ah, sudahlah jangan dipikirkan lagi.. “Eh, ngomong ngomong.. Tadi kamu bilang apa ke fans fans kamu yang ngerumunin kamu itu biar bisa keluar dari mereka?” Aku segera mengalihkan topik lagi. “… ” Isyana tidak langsung menjawab. “Rahasia.. ” Katanya sambil tertawa dan berlari meninggalkanku. Haha, sial.. Isyana lalu membalik badannya dan berlari mundur. “Ayo doong, semangat larinya.. Masa Pesepakbola Eropa kalah sama Artis Indonesia?” Katanya menantangku dan tersenyum manis.
=================================
Tanpa terasa aku dan Isyana telah menghabiskan banyak waktu sambil berlari pelan mengelilingi GBK. Tidak terlalu banyak hal yang kami bicarakan.. Aku sendiri masih bingung harus bersikap seperti apa kepadanya. Aku masih ingin menjaga jarak dengannya, tapi aku juga ingin kembali dekat kepadanya.. Isyana juga beberapa kali akhirnya meladeni orang orang yang ingin meminta tandatangan ataupun berfoto dengannya. Kali ini Isyana meladeninya sementara aku menunggu di sampingnya. Sinar matahari sudah hampir menghilang dari Jakarta, Aku dan Isyana juga sudah berhenti berlari setelah hampir 2 jam mengelilingi GBK, kini kita berdua sudah duduk di samping mobil Alphard Isyana. Asistennya keluar dari mobil dan memberikan Aku dan Isyana air mineral dan handuk untuk menyeka keringat. Isyana juga memperkenalkanku dengan asistennya. Asistennya mengingatkan Isyana bahwa dia harus buru buru pulang karena akan akan tampil di satu acara televisi nanti malam. Kita berdua bertukar kontak sebelum ia pulang. “Dipta.. ” Panggil Isyana dari dalam mobilnya. Ia lalu bersandar di pinggiran jendela mobil dan menopang dagunya. “Nanti kalo aku hubungin kamu diangkat yaa?” Kata Isyana. Aku tersenyum dan mengangguk. Isyana juga tersenyum. “Byee.. ” Ucap Isyana kemudian menutup jendelanya dan akhirnya mobil Alphard itu melaju meninggalkanku. Aku pergi ke mobilku dan bergegas pulang. Esoknya Isyana menelponku dan mengajakku bertemu di sebuah restoran di daerah selatan Jakarta. Karena aku tahu tempat itu akupun menyanggupinya. Aku segera bersiap siap dan pergi ke restoran itu. Sesampainya diriku disana, aku melihat Isyana sudah duduk di sebuah meja di sudut restoran. “Hei.. udah lama?” Tanyaku sambil melihat jam tanganku. Aku telat 7 menit. Isyana menggeleng dan mempersilahkanku duduk. “Soo? Dalam rangka apa nih kamu ngajak aku ketemuan?” Tanyaku membuka pembicaraan. Isyana tampak kaget mendengar pertanyaanku. Seolah harusnya aku tau kenapa dia mengajakku bertemu. “Kamu ga nonton TV ya? Infotainment atau apapun itu?” Isyana langsung nanya balik. Aku menggeleng. Paling malas aku menonton acara seperti itu.. Menonton TV juga paling hanya untuk nonton berita aja. “Ada apaan sih emang?” Tanyaku jadi penasaran. “Iya.. gara gara kemaren waktu kita lari di GBK itu.. ” Kata Isyana mencoba menjelaskan namun memotong kalimatnya karena Waiter datang membawakannya minuman dan menu untukku. “Nanti kita panggil lagi ya mba.. ” Isyana langsung meminta waiter itu pergi dengan sopan. “Waktu di GBK kemaren? Ada apa emang?” Tanyaku. “Kamu inget kan yang waktu aku dikerumunin orang orang itu?” Kata Isyana. Aku mengangguk. “Kan aku ngomong sesuatu ke mereka.. Dan kayanya salah satu dari mereka ada yang ngambil foto aku dan dikasih ke media.. ” Ucap Isyana kemudian menyeruput Mango Juicenya. “Emang kamu ngomong apa ya? Kemaren sok sok rahasiaan sih.. ” Candaku. Isyana tersenyum malu. “Nah itu.. ” Isyana ragu ingin menjawab. Matanya melirikku. Ia lalu menghela nafasnya. “Aku bilang ke mereka ‘Pacar aku udah nungguin’..” Kata Isyana pelan. “Hah apa?” Aku kaget dan bingung. “I-iya.. Aku bilang kamu itu pacar aku dan kamu udah nungguin aku.. ” Isyana mengulang kembali jawabannya. Mulutku menganga. Ini benar benar diluar dugaanku. “Terus ada yang foto kita lari berdua, dan diekspos sama media media.. ” Seakan belum cukup, Isyana melanjutkan lagi ceritanya. “Te-terus gimana dong?” Tanyaku bingung. Isyana menggeleng pelan sambil menyedot kembali mango juicenya. “Kita diemin aja yaa? Aku nanti bilang ke media kalo kamu temen lama aku waktu dari Singapura.. ” Isyana membeberkan rencananya. Aku mengangguk menyetujui rencananya. Hmm.. ‘temen lama’.. Cuma itukah aku untukmu sekarang, Na? Ah aku juga tidak bisa berharap lebih banyak. Dia kini telah menjadi salah satu Diva Indonesia.. Albumnya laku keras dipasaran.. Lagu lagunya selalu bertengger di posisi puncak tangga lagu Indonesia. Dia dan Raisa, dua Diva yang menguasai dunia musik Indonesia sekarang ini. Setelah itu Isyana langsung mengajakku ngobrol. Isyana menceritakan kehidupannya sekarang ini yang cukup sibuk karena harus promo album keduanya dan shooting di berbagai TV Show. Namun sebisa mungkin ia menyempatkan diri untuk berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuhnya. Aku juga akhirnya menceritakan kehidupanku sewaktu di Praha. Aku menceritakan kesuksesanku selama berada disana, namun aku tidak menceritakan mengapa aku keluar dari Praha. Aku hanya bilang aku ingin mengganti suasana dan bermain di dekat Indonesia. Setelah puas ngobrol, kamipun pulang. Aku mengantarnya jalan hingga ke mobilnya yang sudah siap jalan. “Eiya.. ” Aku tiba tiba teringat sesuatu saat berjalan bersama. Isyana langsung melihatku. “Apa?” Tanyanya. “Dulu kan kamu bilang kamu lagi mau ikut kompetisi.. Gimana jadinya? Menang?” Tanyaku. Ya, aku mendadak teringat oleh apa yang dia bilang saat pertama kali aku kenal dengannya. Aku penasaran bagaimana hasilnya saat itu. “Waahh, kamu masih inget aja aku pernah bilang itu.. ” Kata Isyana kagum dan malu. “Iya.. entah kenapa keinget aja.. ” Ucapku. “Juara ga kamu?” Tanyaku lagi. Dia tersenyum bangga. “Juara pertama doonngg, hehehe.. ” Jawabnya. “Kamu parah ga dateng.. Udah janji juga mau dateng.. ” Ucapnya sambil meninju lenganku pelan. Aku ga bisa menjawab. Kita berdua tidak berbicara lagi setelah itu. Keadaan menjadi sedikit canggung. “Hati hati di jalan yaa.. ‘Pacar’..” Ucap Isyana sambil tersenyum sebelum memasuki Alphardnya. Aku tertawa kecil. Isyana lalu berbalik badan dan memelukku erat sekali. Aku terdiam pada awalnya, namun akhirnya kulingkari tanganku di pinggang dan leher Isyana. Kubelai lembut rambut panjangnya. Aroma Parfumnya yang harum tercium olehku. Isyana lalu melepaskan pelukannya, ia menatapku dalam dalam dan tersenyum, kemudian ia masuk ke mobil dan membuka jendelanya. “Semangat milih klubnya!” Ucapnya saat mobilnya mulai berjalan. Aku mengangguk. Aku pun segera pulang ke rumah. Di rumah, aku langsung mengecek TV untuk melihat berita Infotainment dan mengecek berita di Internet sampai beberapa hari berikutnya. Aku tercengang melihat begitu banyaknya media yang meliput gosip hubunganku dengan Isyana meskipun hanya menggunakan beberapa foto yang menunjukkan aku dan Isyana yang berlari di GBK sambil bergandengan tangan. Dan yang tidak kusangka lagi adalah betapa ‘lapar’nya media untuk mencari tahu siapakah diriku. Malam itu beberapa orang menelpon ke rumahku untuk menanyakan info tentang diriku dan kebenaran gosip hubunganku dengan Isyana. Beberapa teman lamaku yang dulu bermain di Persema juga mulai angkat bicara di beberapa wawancara televisi. Isyana juga beberapa kali dihampiri oleh media dan menanyakan kebenarannya. Isyana berusaha sebisa mungkin untuk tidak menjawab secara detail. Isyana terus mengulang pernyataan bahwa aku adalah teman lama nya sewaktu dia sekolah di Singapura. Aku sampai tidak bisa lagi berlari sore di GBK karena media selalu memburuku disana. Namun Media tidak kenal menyerah, mereka berhasil mendapatkan informasi mengenai diriku lewat PSSI. Salah satu juru bicara PSSI akhirnya memberitahukan kepada media bahwa aku adalah pesepakbola yang pernah bermain di Sparta Praha dengan 100x penampilan dan 27 gol. Semenjak pernyataan PSSI itu, media semakin mengeksposku. Mereka mendapatkan foto fotoku saat berada di Sparta Praha.. Menunjukkan videoku saat bermain di lapangan.. Dan bahkan mewawancarai manajer Sparta Praha yang baru saja diangkat. Rumahku mulai kebanjiran telepon oleh media. Bahkan staf kementrian pemuda dan olah raga juga menghubungiku. Aku tidak menggubris media media itu, namun aku merespon telepon dari Kemenpora. Ternyata mereka menelponku untuk menanyakan statusku yang kini tanpa klub. Mereka memintaku untuk segera mendapatkan klub karena dalam waktu dekat Kemenpora akan melepaskan intervensi terhadap PSSI dan secara otomatis akan menghilangkan sanksi FIFA. Indonesia akan diperbolehkan berlaga lagi di pentas Internasional. Maka dari itu aku diminta untuk segera mempersiapkan diriku karena aku sudah masuk ke dalam daftar pemain yang akan dipanggil untuk membela Timnas. Wow.. Perubahan yang sangat cepat sekali terjadi.. Aku jadi mendapatkan kembali semangat untuk bermain. Meskipun kemungkinanku sudah sangat kecil untuk bisa kembali ke Eropa dan bermain di Liga Champions, aku tetap memiliki harapan. Atas saran dari beberapa temanku, aku akhirnya memilih untuk bermain di Australia, Adelaide United. Sehari sebelum keberangkatanku ke Adelaide untuk menandatangani kontrak, aku memutuskan untuk menemui Isyana. Karena setelah kupikir pikir, aku tidak akan mendapatkan informasi tentang PSSI yang akan diaktifkan kembali oleh Kemenpora jika aku tidak digosipkan berpacaran dengan dirinya. Aku dan Isyana bertemu di sebuah restoran di daerah Kemang. Kami berdua duduk di tempat yang sepi agar tidak ada yang mengganggu dan tidak terlihat oleh media. Awalnya aku berbincang bincang dengannya mengenai gosip gosip yang media katakan tentang kita berdua. Kami berdua tertawa saat mendengar cerita masing masing media, makanan kami sampai dingin karena jarang tersentuh oleh kami. Setelah menyelesaikan makanan kami, barulah aku ceritakan maksudku mengajaknya bertemu. “Aku pikir kamu mau main di Indonesia.. ” Kata Isyana pelan. “Pengennya sih.. Aku pengen balik main buat Persema malah kalo bisa.. Tapi kompetisinya belom jelas ada atau engga sih.. Makanya aku mau ke Aussie aja.. ” Jelasku. “Huh.. Kamu.. ” Isyana menggerutu. “Sekalinya bisa ketemu kamu lagi, eh kamu malah mau pergi ke luar lagi.. ” Katanya. “Hahaha.. iya yaa? Maaf ya, Na.. ” Ucapku santai. “Ga apa apa sih.. Toh dengan kamu pergi ke Australia, gosip gosip tentang kita kan ujung ujungnya bisa berhenti dengan sendirinya.. ” Kata Isyana. Entah kenapa tampangnya semakin lesu. “Kamu kenapa? Sakit ya?” Tanyaku. Dia menggeleng. “Terus kenapa sekarang lemes banget gitu muka kamu?” Tanyaku lagi. Dia tidak menjawab. Dia lalu bangkit dari kursinya. “Goodluck ya kamu di Australia.. ” Kata Isyana mencoba tersenyum. Aku bisa melihat itu adalah senyuman yang dipaksakan. “Aku pamit ya.. Mau ada interview di Trans7.. Makasih traktirannya” Kata Isyana buru buru. Aku ingin mencegahnya, namun Isyana keburu pergi. Aku lalu membayar di kasir dan pergi pulang ke rumahku.
Oke sekarang waktunya untuk sedikit nostalgia, Gue akan puterin satu buah lagu hits yang tiga tahun lalu melambungkan nama Isyana Sarasvati ke jajaran musisi ternama di Indonesia.. Ini dia Isyana dengan “Tetap dalam Jiwa”.
Eh? Lagunya Isyana.. Setelah kuingat ingat lagi, belum pernah sekalipun kudengar lagu lagu yang dibuat Isyana.. Dan entah kenapa judul lagu ini begitu familiar buatku..
Tak pernah terbayang akan jadi seperti ini pada akhirnya..
Semua waktu yang pernah kita lewati bersama nyata hilang dan sirna..
Kudengarkan dengan seksama liriknya.. Hmm sepertinya tentang sepasang kekasih yang harus berpisah.. Kudengarkan terus lagunya, enak juga.. Pantesan dia bisa melejit, lagunya enak sih..
Bila memang harus berpisah..
Aku akan tetap setia..
Bila memang ini ujungnya..
Kau ‘kan tetap ada, di dalam jiwa..
Eh? Aku terkejut saat mendengarkan lirik lagunya saat bagian Chorus. Kutunggu lagi lagu itu hingga sampai kembali dibagian Chorus.
Bila memang harus berpisah..
Aku akan tetap setia..
Kubesarkan volume radioku.
Bila memang ini ujungnya.. Kau kan tetap ada, di dalam jiwa..
Aku terdiam. Aku ingat kenapa lirik ini begitu familiar.. Ini adalah judul Caption yang kukirim untuk fotoku berdua dengannya di patung Merlion. Isyana? Mungkinkah kamu selama ini? Segera kuraih Handphoneku untuk menelepon Isyana. Agak lama Isyana mengangkat panggilanku. “Halo, Na?” ” …… ” “Na, halooo??” ” …….. ” “Halooo, Naa?” Kudengar Isyana tertawa diujung telepon. “Bolak balik aja terus halo na na halo.. ” Akhirnya Isyana bicara, namun aku seperti mendengar suaranya aga serak, seperti orang yang habis menangis. “Kenapa nelpon aku? Mau ngomong apa lagi?” Tanya Isyana. “Kamu dimana?” Tanyaku. “Otw ke Trans7, kan tadi aku bilang.. ” “Oh okay.. aku mau ngomong sesuatu sama kamu.. Tunggu aku ya di sana” Pintaku. Segera kumatikan teleponku dan kupacu mobilku menuju Kantor Trans7 yang terletak di daerah Mampang. Saat aku tiba disana, aku langsung parkir dan mencari Isyana. Dia ternyata masih menunggu di dalam mobilnya yang terparkir tidak jauh dariku. Segera aku berlari hingga ke samping jendela mobilnya. Isyana membuka jendelanya dan menatapku bingung. Aku berusaha mengatur nafasku yang tersengal sengal karena lari barusan. “Kamu kenapa sih? Sampe ngos ngosan gitu?” Tanya Isyana bingung melihatku. “Na.. ” Ucapku di sela sela nafasku. “Tetap dalam jiwa.. ” Ucapku lagi. Isyana langsung terkejut mendengarku mengatakan kata kata itu. Tanpa ia sadari, air matanya menetes membasahi pipinya. Nafasku akhirnya mulai normal kembali. Dan entah kenapa aku tersenyum melihatnya menitikkan air mata. “Aku sayang kamu, Na.. ” Ucapku tegas. Air mata Isyana makin pecah. Ia segera membuka pintu dan memelukku. “Aku sayang kamu, na.. ” Ucapku lagi menyambut pelukannya. Kupeluk erat dirinya. “Jadi kamu selama ini, Na.. ” Bisikku. Isyana mengangguk. “Iya Dipta.. Selalu..” Ucapnya sambil menangis bahagia. “Aku sayang kamu Dipta.. ” Kata Isyana sambil menatapku. Kuhapus kedua air mata yang masing mengalir di pipinya hingga hanya menyisakan air mata di ujung matanya. Bola matanya mengkilap karena basah oleh air mata. Namun dia tersenyum menatapku. Perlahan aku memajukan wajahku. Isyana menutup matanya dan membiarkanku mencium bibirnya dengan lembut.
=======================
Aku tersenyum melihat Isyana yang sedang diwawancara oleh Tukul di Bukan Empat Mata. Aku sendiri duduk sendirian di Lobby Kantor Trans7 menontonnya lewat TV yang ada di Lobby kantor. Kuperhatikan mukanya yang sangat ceria hari ini. Aku tidak percaya.. Isyana ternyata selalu menungguku.. Dan sekarang akhirnya kita berdua bisa menyatu. “Isyana Arwana.. ” Kata Tukul sambil bercanda. “Bisa diceritain ga sih temennya yang Isyana gandeng waktu lari sore di GBK itu siapa?” Tanya Tukul. Isyana tersenyum, kemudian ia menjawab pertanyaan itu. “Namanya Ardya Diptanto.. Aku kenal dia waktu aku sekolah di Singapura dulu..” Kata Isyana kepada Tukul. “Oohh begitu.. Itu temen apa pacarnya sih?” Tanya Tukul to the point. Aku tertawa, membayangkan apa reaksi Tukul saat mendengar jawaban Isyana. “Mmm.. Iya, Dia pacar akuu” Jawab Isyana singkat dan tegas kemudian tersenyum layaknya aku yang tersenyum di lobby ini. Reaksi Tukul dan penonton di Bukan Empat Mata terkejut, namun Tukul dengan cepat membuat candaan. “Waduh, ga kebayang ini berapa lelaki yang patah hati abis denger pengakuan Isyana barusan..” Kata Tukul sambil menunjuk ke kamera. “Lha kalo kalian ini mah gausah ditanya.. ” Kata Tukul sambil menunjuk penonton yang duduk lesehan diiringi tawa penonton yang meriah.
===================================
Keesokan harinya Isyana mengantarku ke Airport Halim dimana pesawat Jet pribadi sewaan Adelaide United telah menantiku. Beberapa orang dari manajemen klub Adelaide turut menemaniku. Isyana menahanku saat kita sudah dekat pesawat Jet. Dia lalu melepaskan kacamata hitamnya. Rambut sedikit berkibar karena angin yang bertiup. Bunyi mesin jet yang terdengar menderu di kejauhan sedikit memekakkan telinga. “Cepet pulang ya, sayaaangg.. ” Ucap Isyana penuh kasih sayang. Ia menggenggam tanganku dengan erat sekali. Aku langsung mencium bibirnya kemudian memeluknya erat untuk beberapa saat. “Iya sayang, dua hari aja..” Ucapku saat memeluknya. Aku lalu naik ke tangga pesawat, Isyana menungguku hingga aku masuk ke dalam pesawat. Dan akupun pergi ke Adelaide untuk memulai babak baru karir sepakbolaku. Aku mendapat nomor punggung ’28’ di Adelaide United dan disambut cukup meriah oleh media disana. Beberapa hari kemudian Pemerintah mengumumkan bahwa Pemerintah telah mengangkat Intervensi mereka terhadap PSSI dan telah memperbolehkan PSSI melakukan kegiatannya kembali. PSSI yang kini diketuai oleh Rahmad Darmawan dengan cepat langsung mengumumkan menunjuk Ilham Jaya Kesuma menjadi Manajer Timnas yang baru dan akan segera memanggil pemain pemain untuk membentuk Timnas yang akan berlaga di Kualifikasi Piala Dunia 2022 di Qatar. Namaku termasuk didalamnya. Sementara itu karirku di Adelaide United bisa dibilang cukup berhasil. Aku sering mendapat tempat utama dan menjadi Vice Captain di Tim Utama Adelaide United. Permainanku mulai membaik, seakan akan aku menemukan kembali skill skill ku yang hilang selama ini. Dan bersama Isyana, aku mendapatkan kasih sayang yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Meskipun aku dan dirinya terpisah jarak dan juga terpisah oleh profesi, namun kita berdua mampu melewati semuanya dengan baik. Komunikasiku dengannya berjalan lancar. Dan aku sering pulang ke Indonesia untuk bertemu dengannya, atau kadang kadang Isyana terbang ke Adelaide untuk bertemu denganku. Aku dan Isyana juga sudah berkali kali berhubungan badan. Apalagi saat ia pergi ke Aussie untuk mengunjungiku, kami merasa seperti honeymoon. Album ketiganya yang sedang ia promosikan kembali laku keras dan semakin melambungkan popularitasnya di belantika musik Indonesia. Aku sendiri di timnas dipercayakan menjadi Kapten tim. Timnas juga dengan penuh semangat baru berhasil melewati ronde ronde kualifikasi Piala Dunia dengan baik ditangan Coach Ilham. Taktiknya luar biasa, Gaya melatihnya juga dapat mudah dimengerti dan rekan rekan tim sangat suportif terhadap kepemimpinannya. Indonesia menjadi kuda hitam di Kualifikasi Piala dunia kali ini. Bahkan di ronde kedua Indonesia berhasil mengejutkan semua pihak dengan menjuarai Grup H. Dengan hasil demikian, Indonesia berhak maju ke ronde ketiga kedua sekaligus memastikan satu tempat di Piala Asia 2023. Namun kesuksesan di Ronde kedua tidak dapat diulangi di Ronde ketiga, di Ronde ketiga, 10 tim yang dibagi ke dalam dua grup dan nantinya Juara satu dan dua tiap grup dipastikan akan mendapat tempat di Piala Dunia 2022. Di ronde ini Indonesia berada di urutan ketiga. Urutan ketiga dari kedua grup akan diadu untuk mendapatkan tempat play off antar benua, inilah ronde keempat. Indonesia yang harus melawan Kuwait berhasil menaklukan Kuwait lewat gol dari Syamsir Alam dan Andik Vermansyah, dan memastikan masuk di Ronde kelima. Ronde terakhir. Di Ronde terakhir ini, Indonesia yang adalah wakil dari Wilayah Asia harus melawan tim dari wilayah Amerika Selatan, kali ini Uruguay, yang sebelumnya mengalahkan Bolivia untuk mendapat tempat ini. Bila Indonesia berhasil mengalahkan Uruguay, maka Indonesia akan dipastikan masuk ke Piala Dunia 2022 di Qatar. Laga akan terbagi menjadi Laga Home-Away. Dengan Uruguay mendapatkan laga Home terlebih dahulu. Bisa dibayangkan betapa pentingnya laga ini..
=======================================
Ronde Kelima Kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar, Uruguay v Indonesia.
Estadio Centenario. 2 Oktober 2021 “Ya Tuhan, berikanlah kami semua kemampuan dan performa yang semaksimal mungkin agar dapat membawa negara ini menuju pentas dunia. Hilangkanlah rasa gugup dan takut yang mungkin akan menghinggapi kami selama pertandingan nanti. Amin!” Ucapku memimpin doa sejenak ketika pertandingan akan dimulai. Seluruh tim berteriak Amin dengan keras. “Inget yang Coach Ilham bilang tadi ya kawan kawan.. ” Ucapku sambil melihat mata rekan rekanku satu persatu yang berdiri dalam satu lingkaran. Aku harus setengah berteriak karena suaraku tenggelam oleh 70ribuan lebih penonton yang memadati Estadio Centenario di kota Montevideo, ibukota Uruguay. Semuanya tampak siap dan bersemangat. “Hitungan ketiga, Kita pasti menang, Ok?” Ucapku lagi mengulurkan tangan. Semuanya lalu mengulurkan tangan. 1 2 3 “KITA PASTI MENANG!” Teriak kami semua. Lalu kami segera berlari menuju posisi kami masing masing. Wasit lalu melihat kedua tim dan setelah dirasa kedua tim siap, wasit meniup peluitnya. PRIIIITTTT! Pertandingan penentuan telah dimulai.. Uruguay langsung tampil menyerang dari peluit pertama dimulai. Kecepatan pemain mereka cukup mengejutkan rekan rekanku. Namun mereka telah berlatih keras dan telah siap menghadapinya. Pertahanan kami masih kokoh meskipun langsung digempur dan dikurung selama sepuluh menit pertama. Pilihan kami hanyalah bertahan dengan rapih dan ketika mendapatkan bola segera dialirkan untuk serangan balik yang cepat. Arrascaetta, pemain sayap Uruguay berhasil mendapatkan ruang di sisi kanan. Aku berusaha menutup ruang operan dari Gaston Ramirez sang Playmaker. Namun Ramirez berhasil menemukan cara untuk meloloskan diri dariku lewat kecohan kakinya dan kemudian segera mengoper Arracaetta yang kosong. Putu Gede bek sayap kanan timnas segera berlari secepat mungkin untuk membayangi Arrascaetta. Namun terlambat, Arrascaetta dapat memberikan umpan yang lumayan terukur ke dalam kotak Pinalti dimana dua striker Uruguay sudah menanti, Diego Rolan dan Abel Hernandez. Namun kedua striker itu mendapat perlawanan sengit dari kedua bek timnas kami, Arthur Irawan dan Mahir Radja Setya. Arthur berhasil memenangkan duel udara dan membuang bola keluar kotak pinalti. Aku yang sebelumnya menjaga Ramirez segera bereaksi dengan cepat dan berlari untuk mengontrol bola tersebut. Begitu bola kudapat langsung kulihat ke tengah lapangan dimana Syamsir Alam sang striker dan Winger Setyo Nugroho telah bersiap menunggu operanku. Langsung saja kutendang bola ini ke kanan lapangan untuk memberikan umpan lambung kepada Setyo yang langsung berlari kencang melewati bek kiri Uruguay. Setyo berhasil menguasai bola dengan kontrol dada yang cermat. Syamsir Alam segera berlari ke kotak pinalti Urugay secepat mungkin. Setyo men-dribble bola terus hingga menusuk masuk ke kotak pinalti kemudian memberikan umpan kepada Syamsir Alam. Tanpa dikontrol lagi oleh Syamsir Alam, ia langsung menendang bola itu dan.. GOOLL! Ah sayang sekali wasit mengangkat bendera tanda offside. Syamsir Alam yang baru saja ingin merayakan golnya langsung kecewa. Tapi tidak apa apa.. Paling tidak kami mampu memberikan Shock Therapy kepada Uruguay. Begitu permainan dimulai kembali Uruguay mengendurkan serangannya. Mereka kini tampak berhati hati dalam memilih serangan. Evan Dimas berhasil memotong bola yang ditujukan kepada Gaston Ramirez dan segera mengoper kepadaku. Evan Dimas langsung maju mencari ruang kosong sementara aku melihat ke seluruh sisi lapangan mencari celah serangan terbaik. Gaston Ramirez berusaha merebut bola dariku. Sebelum ia berhasil merebut, bola kuoper kepada Setyo yang ada di dekatku dan aku melihat Ramirez tidak mengejarku malah mengejar Setyo. Aku terlepas dari penjagaan! Aku meminta bola kembali kepada Setyo dan memberi sinyal one two kepadanya. Setyo yang paham segera mengoper kepadaku lalu berlari kencang di sisi lapangan. Begitu bola sampai ke dekatku tanpa membuang waktu lagi segera kuoper balik ke Setyo yang kosong melompong. Setyo mempunyai semua waktu yang ia perlukan untuk mengukur kekuatan umpan yang akan ia berikan. Muscle memory hasil latihan intensif timnas akan membuatnya bisa mengumpan dengan akurat. Dan benar saja, Setyo membuat umpan yang langsung menusuk namun akurat kepada Syamsir Alam. Bola umpan itu melewati dua bek tengah Uruguay. Syamsir Alam hanya perlu sedikit melompat saja dan dia bisa menyundul bola itu dengan mudah. GOOOLLL! 1 – 0 Indonesia! Kali ini bendera hakim garis tetap berada di bawah dan wasit menyatakan gol tersebut sah. Seisi stadion terdiam melihat aksi kami tadi. Syamsir Alam merayakan golnya bersama Setyo di dekat gawang Uruguay, rekan rekanku yang lain juga menyelamatinya. Semenjak kejebolan, Uruguay tampak panik dalam penguasaan bola. Konsentrasi mereka terpecah. Serangan serangan mereka pun jadi mudah terbaca, apalagi aku dan Evan Dimas telah menguasai lapangan tengah sehingga mereka tidak mendapat banyak pilihan dalam serangan. Kami kini perlahan lahan mulai mengurung pertahanan Uruguay. Operan operan kami yang cepat berkali kali membuat bek Uruguay kewalahan. Sebastian Coates tampak menyemangati rekan rekannya yang kebingungan menghadapi serangkaian operan kami di tengah lapangan. Kembali lagi Setyo berhasil membuka ruang di sisi kanan dan bersiap mengirimkan umpan kembali. Namun kali ini bek sayap Uruguay mampu menutup umpan Setyo dan hanya menghasilkan Corner Kick. Evan Dimas segera mengambil tugas sebagai eksekutor tendangan penjuru sementara aku mengatur rekan rekanku untuk mengambil posisi. Evan Dimas lalu menendang ke tengah kotak pinalti dimana mayoritas semua pemain sedang saling beradu posisi. Coates berhasil memenangkan duel udara, namun bola yang ia sundul terlalu lemah dan jatuh kepadaku. Aku segera mengontrol bola dan tanpa banyak berpikir kutendang bola itu. Ah sayang sekali masih bisa diblok. Bola terpental kembali ke luar kotak pinalti. Namun Setyo berhasil mendapatkan bola. Segera ia oper ke Evan Dimas yang menunggunya. Evan Dimas lalu mengirimkan umpan yang cukup terukur. Arthur Irawan yang tadi maju saat Corner Kick berhasil menyundul bola dengan sempurna. Bola memantul ke tanah sebelum akhirnya masuk ke gawang Uruguay untuk kedua kalinya. GOOOOLLL! Ini Gol pertama Arthur sepanjang kualifikasi kali ini. Arthur tampak senang dan puas. Lagi lagi penonton Uruguay dibuat terdiam membisu. Diego Godin sang Kapten Uruguay tampak marah terhadap performa teman temannya. Kulihat Manajer Uruguay pun tampak bingung melihat situasi yang ada. Hingga sisa babak pertama habis tidak ada gol yang tercipta. Aku dan rekan rekan Timnas menuju ke ruang ganti dengan perasaan puas. Kurangkul Setyo yang bermain apik sepanjang babak pertama. Di dalam ruang ganti, Coach Ilham tampak Rileks dan menginstruksikan untuk tetap berhati hati dalam menguasai bola dan jangan membuat keputusan yang terlalu beresiko. Serangan Balik Uruguay dengan kecepatan yang mereka miliki akan sangat menyulitkan kita untuk bertahan. Strategynya untuk menumpukan serangan kepada Setyo juga membuahkan hasil, semua pemain Uruguay tampak fokus menjaga Andik agar tidak bisa melakukan dribble dribble ajaibnya, namun ternyata Setyolah yang menjadi kunci serangan kami di babak pertama. Memasuki babak kedua, Uruguay kembali berinisiatif menyerang di menit menit awal untuk menciptakan gol. Namun kokohnya Arthur dan Mahir Radja berhasil mementahkan bola bola yang mengancam ke gawang Ravi Murdianto. Ravi juga bisa dibilang bermain dengan cemerlang. Saat Abel Hernandez sempat terlepas dari jebakan offside dan berduel satu lawan satu dengan Ravi, Ravi dengan cepat menutup ruang tembak Abel dan berhasil menghalau tendangannya hingga hanya menghasilkan Corner untuk Uruguay. Saat serangan Uruguay mulai mengendur, kini giliran kami yang membangun serangan. Dengan hati hati kami memutar bola ke setiap sudut lapangan dan tidak mau mengambil resiko. Apabila keadaan mendesak, Mahir ataupun Arthur segera mengoper kembali ke Ravi agar bisa mengulang kembali serangan dari awal. Taktik possession football kami berhasil memancing para pemain Uruguay yang tidak sabar untuk keluar dari pertahanannya dan mengejar kami. Aku dan Evan Dimas yang mengawal lapangan tengah harus jeli mencari celah yang terbuka sembari menjaga agar bola tidak direbut lawan. Ku dribble bola ke tengah lapangan sambil mencari pemain yang bisa lepas. Kulirik Andik di kiri sedang diam diam menyelinap dari bek sayap Uruguay. Ini dia kesempatannya. Kuoper bola ke Evan Dimas dan segera berlari ke ruang kosong yang berada di kiri lapangan. Evan Dimas tampak ingin mengoperku, namun ia melihat dibelakangku sudah siap bek sayap Uruguay untuk memotong bola. Tapi justru itu maksudku, dengan bek itu menjagaku, Andik mendapatkan ruang kosong di sepanjang sisi kiri lapangan. Evan dimas mengerti maksudku dan segera mengoper jauh ke Andik. Bek Kiri Uruguay akhirnya sadar akan kesalahannya dan dengan putus asa berbalik mengejar Andik yang sudah jauh meninggalkannya. Untuk menutup kekosongan, Godin segera menutup sisi kiri lapangan dan menghadang Andik. Andik melihat ke kotak pinalti dan menyadari aku mendapatkan area kosong diluar kotak pinalti. Andik segera mengumpanku dengan umpan yang menyusur di tanah. Aku langsung bersiap menendang bola sambil memperhatikan gerak gerik Kiper. Coates keluar dari posisinya yang menjaga Syamsir Alam dan berusaha menutup ruang tembakku. Namun aku dengan tenang mengecohnya dengan berpura pura akan menendang tapi kugeser bola yang kukontrol itu lebih ke kanan. Coates hanya mentackle rumput dan tanah saja sementara aku mendapatkan ruang tembak yang luas di depanku. Kutendang bola ini dengan sekuatku ke pojok kiri gawang. Kiper Uruguay, Muslera, yang sudah kebobolan dua kali tidak ingin kemasukan lagi. Dengan reaksi cepat ia melompat ke kiri gawang. Namun sayang baginya, bola tendanganku terlalu keras dan ia tidak sempat menggapai bolanya. GOOLLL!
3 – 0 Untuk Indonesia!
Aku berteriak girang. Syamsir Alam yang berada paling dekat denganku segera berlari dan memelukku. Berturut turut Andik, Jajang Mulyana, Setyo, dan Evan Dimas menghampiriku dan merayakan gol bersamaku. Kupejamkan mataku dan kubayangkan Isyana yang jauh di Jakarta sana, Isyana.. Gol ini untukmu.. Ucapku dalam hati. Kubuka mataku dan kembali merayakan gol itu. Semangat Uruguay semakin mengendur. Mereka tampak seperti tim yang sudah tidak mempunyai niat untuk menang lagi. Memasuki menit ke 70, Coach Ilham akhirnya menggantikanku dengan Bung Immanuel Wanggai. Kuberikan ban kaptenku kepada Evan Dimas dan aku melangkah keluar dari lapangan sambil bertepuk tangan. Terimakasih Montevideo.. Pada akhirnya Uruguay mampu menciptakan gol lewat kotak pinalti atas handsball yang dilakukan Mahir Radja. Diego Rolan berhasil mengecoh Ravi Murdianto untuk mengubah papan skor menjadi 1-3. Namun gol itu tidak cukup cepat datangnya dan tidak mampu mengibah jalannya pertandingan. Pertandingan berakhir dengan skor 1-3 untuk kemenangan Indonesia. Kami semua merayakan kemenangan ini dengan sangat gembira. Bagaimana tidak? Kami sudah sangat dekat sekali dengan piala dunia.. Hanya butuh hasil imbang 0 – 0 di GBK untuk memasukkan kami ke dalam kompetisi Piala Dunia untuk pertama kalinya. Suasana di ruang ganti sangat heboh dan gembira saat itu. Coach Ilham menyelamati semua pemain atas kerja kerasnya. Saat kami tiba di Soekarno-Hatta, kami disambut bak pahlawan oleh masyarakat Indonesia. Ratusan orang menantikan kami di area kedatangan Terminal 2E Soekarno-Hatta. Semua orang mengelu elukan nama kami. Mereka menyanyikan yel yel Timnas Indonesia. Petugas keamanan sampai kesulitan mengawal kami masuk ke dalam Bus. Begitu juga saat kami tiba di Kantor PSSI di GBK, sudah banyak orang yang menanti nantikan kami tiba. Kami langsung menjadi sorotan utama di semua media. Koran koran pagi dan sore menjadikan kami berita halaman terdepan. Televisi memberitakan kemenangan kami di Montevideo di setiap jam. Lapangan latihan kami di GBK selalu dipenuhi oleh media yang meliput kami. Coach Ilham dan beberapa dari kami tidak lepas dari wawancara singkat saat kami selesai latihan. Semua rakyat Indonesia sudah sangat antusias dan tidak sabar menunggu pertandingan kami melawan Uruguay di Stadion GBK yang akan berlangsung di hari sabtu, 6 hari setelah leg pertama. Presiden Jokowi bahkan berjanji untuk datang dan menonton pertandingan penentuan itu. Inilah momen terdekat Indonesia memasuki Piala Dunia. Satu kaki telah kami tancapkan di Piala Dunia, tingkal satu langkah lagi.. Begitulah kurang lebih pemberitaan media seminggu itu. “Ya, saya hanya berharap rekan rekan tim saya mampu fokus dan tidak terlalu percaya diri yang berlebihan saat nanti kami menghadapi Uruguay.. ” Ucapku menjawab pertanyaan para wartawan yang menghadangku saat akan masuk lapangan latihan di luar GBK. Aku ditemani Isyana yang kugandeng berjalan melewati belasan Reporter dan Wartawan baik lokal maupun asing. Isyana tertawa saat kami berdua akhirnya bisa melewati mereka. “Kok ketawa, sayang?” Tanyaku heran sambil terus melangkah. “Iyaa lucu aja.. ” Jawab Isyana. “Lucu apa?” “Yang artis siapaa.. yang dikerubungin siapa.. ” Kata Isyana sambil menggelengkan kepalanya dan tertawa. Akupun ikut tertawa. Isyana dengan setia menemaniku latihan semenjak aku pulang ke Jakarta setelah menang di Leg pertama melawan Uruguay. Aku merasakan hubunganku dengannya makin lama makin meningkat ke level yang lebih serius lagi. Mungkin setelah pertandingan penentuan ini aku akan melamarnya. “Sayang.. Cobain deh.. ” Ucap Isyana sambil mengeluarkan kotak sepatu dari salah satu kantung belanjaannya ketika aku baru kembali dari ruang ganti baju. Aku dan dia sedang duduk di bangku penonton Lapangan latihan, sementara itu beberapa rekanku yang sudah tiba lebih dulu sedang berbincang bincang di pinggir lapangan bersama Coach Ilham. “Yaampun sayang, ini buat aku?” Tanyaku senang. Kubuka bungkusnya, sepatu Adidas Predator keluaran terbaru. “Cobain yah.. aku mau liat.. ” Kata Isyana menyuruhku mencobanya. Aku menurutinya dan segera melepas sepatuku. Tiba tiba Isyana duduk di lantai dan membantuku melepaskan sepatuku. “Sini sayang, aku lepasin..” Ujarnya dengan lembut. Aku tertegun melihat apa yang dia lakukan kepadaku. Isyana lalu memakaikan sepatu yang baru ia beli itu ke kakiku. Kemudian ia mengikatnya. “Sayang.. ” Ucap Isyana sambil sesekali menatapku. “Yaa?” Jawabku sambil melihatnya dengan penuh senyuman. “Kamu janji yah.. Apapun yang terjadi di pertandingan nanti, kamu ga boleh menyerah.. ” Ucapnya dengan penuh perhatian. Aku mengangguk. “Usaha yang maksimal, dan sebelum peluit terakhir berbunyi kamu ga boleh nyerah! Janji?” Tanya Isyana lebih tegas lagi saat menyelesaikan ikatan di kedua sepatuku. “Iya sayang.. Aku janji.. ”
ACT 2 – END
ACT 3 The Force Awakens
Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta – Indonesia 8 Oktober 2021.
Ronde ke-lima kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar, Indonesia 0 v Uruguay 3 ( Agg 3 – 4 ) Aku menatap ikatan tali di sepatu yang Isyana berikan kepadaku. Aku terdiam sejenak menatap sepatu itu. Tali itu terlepas dari ikatannya. Janjiku.. Sebelum peluit terakhir berbunyi.. Aku tersenyum saat aku berlutut membetulkan tali sepatuku. Iya sayang.. aku janji. Tali sepatuku telah terikat erat. Aku berdiri dipenuhi semangat baru. Kuhampiri semua rekan rekanku yang tampak terguncang. “Jangan menyerah teman, kita pasti menang!” Ucapku kepada mereka semua dengan penuh keyakinan dan semangat. Satu persatu mereka semua bangkit, terdorong oleh semangatku. “Satu gol saja! Ayo kawan kawan!” Teriakku sambil bertepuk tangan kepada mereka. Perlahan tapi pasti semangatku mulai tertular kepada mereka. Aku bisa melihat di mata mereka, mereka semua ingin memenangkan pertandingan ini. Priiittt! Wasit meniup peluit tanda pertandingan kembali dilanjutkan. Uruguay langsung bermain defensive. Mereka semua langsung mundur ke lapangan mereka sendiri. Coach Ilham langsung memerintahkan semua pemain kita untuk maju dan tidak ragu ragu. Aku dan Evan Dimas saling bekerja sama membuka ruang. Sulit memang, pemain Uruguay tidak terpancing oleh pergerakan tanpa bola kami. Mereka semua dengan disiplin menjaga wilayah mereka masing masing dan membiarkan kami menggempur mereka. Bola hanya bisa berputar dari satu sisi lapangan ke sisi lapangan yang lain tanpa bisa masuk ke kotak pinalti. Aku lalu menyuruh Syamsir Alam, Hanif Sjahbandi yang masuk menggantikan Jajang, Andik, dan Setyo untuk terus bergerak mencari celah di kotak pinalti diantara bek bek Uruguay. Begitu aku melihat salah satu dari mereka mendapat celah, segera kuberikan umpan lambung kepada mereka. Siapapun yang menang duel udara nanti, bola itu akan ada lebih dekat ke wilayah mereka. Taktik bola panjang.. Taktik dasar yang sudah dipakai semua tim sejak dulu untuk mengejar ketertinggalan. Wasit keempat maju sambil membawakan papan waktu. Dia mengangkat papannya dan menyalakan papan tersebut. 3 Menit tambahan waktu yang diberikan. Penonton GBK semakin gusar melihat tambahan waktu itu. Menit 92′ Aku melihat Syamsir Alam berhasil mendapat celah dan meminta bola. Segera saja aku tendang bola ini menuju kotak pinalti. Syamsir Alam langsung bersiap duel udara dengan Diego Godin. Penonton di GBK kembali menahan nafas melihat bola sudah berada di kotak Pinalti. Godin memenangkan duel udara itu dan berhasil membuang bola keluar kotak pinalti. Namun Bola buangannya yang tidak sempurna itu mendarat di dada Evan Dimas. Evan Dimas tidak menyianyiakan kesempatan ini, begitu bola jatuh ke tanah Evan Dimas langsung mengambil posisi menendang. Shooott! Teriak mayoritas penonton kepada Evan Dimas. Christian Rodriguez dan Gaston Ramirez, dua pemain tengah Uruguay, langsung berinisiatif menutup arah tembakan Evan Dimas. Namun Evan Dimas tidak peduli, dia tetap melakukan shoot. Tendangan kencangnya melewati kedua pemain itu. Ah sayang terblok oleh Coates. Bola liar itu kembali terlempar keluar kotak pinalti. Namun kali ini tidak ada yang mengejar. Kedua pemain tengah Uruguay masih mencari kemana perginya bola. Sementara itu aku melihat kesempatan ini segera berlari dan bersiap untuk menendang. Teriakan penonton yang histeris terdengar olehku saat aku bersiap menendang volley bola liar itu. Dengan sudut kaki terluar aku menendang bola itu. Bola melesat melengkung berbelok ke arah kanan gawang. Muslera yang menyadari perpindahan arah bola langsung mencoba melompat menutupi sudut kanan gawangnya. Tiang!
Bola mengenai tiang, memantul ke tengah kotak pinalti dan langsung dibuang oleh Coates ke sisi lapangan. Ah! Aku spontan memegang kepalaku dengan kedua tanganku. Aku tidak percaya.. Semua rekanku juga tidak percaya. Penonton di GBK berteriak kaget dan kecewa. Namun GBK kembali hidup. Suara penonton langsung bergemuruh mendukung kami semua di lapangan. Rekan rekanku pun semakin semangat. Bulu kudukku merinding melihat semua penonton bersatu padu meneriakkan Indonesia dengan kompak. Putu Gede mengambil lemparan ke dalam dan mengoper kepada Arthur Irawan. Aku langsung menyuruh Arthur untuk mengumpan ke salah satu sayap, siapapun itu. Kali ini Arthur memilih memberikan ke Andik yang berada di sudut kiri. Namun bukan Andik yang bersiap mengambil, ternyata kembali lagi Syamsir Alam yang bersiap. Bek sayap Uruguay yang lebih pendek dari Alam terlihat kaget melihat Alam yang melompat menjulang jauh lebih tinggi darinya. Syamsir Alam berhasil memenangkan duel udara dan sundulannya ia arahkan kepada Andik yang berada tak jauh darinya. Andik yang tak dikawal oleh bek sayap Uruguay kini menusuk masuk menuju kotak pinalti. Ia kemudian memberikan umpan ke tengah kotak Pinalti dimana Sjahbandi dan Setyo telah menunggu. Umpan Andik akurat dan sangat berbahaya, bola mengalir deras dan mengarah ke sudut kanan gawang. Sjahbandi tampak sedikit lagi menyundul bola itu sebelum Godin melakukan penyelamatan gemilang dengan diving headernya. Corner kick! Semakin dekat.. Semakin dekat! Seluruh penonton langsung bergemuruh menyemangati kami yang mendapatkan Corner. Menit 94′ Semua pemain tampak berkerumun di kotak pinalti. Kiper Ravi Murdianto pun turut maju. Semua penonton di GBK berteriak terbakar semangatnya. Sekali lagi terdengar Yel Yel Indonesia di seantero lapangan. Evan Dimas kembali bertugas mengambil Corner Kick. Ia tampak tegang. Ia tahu betul arti Corner Kick kali ini. Bila gagal, kesempatan Indonesia untuk masuk piala dunia musnah sudah. Tiba tiba aku teringat latihan variasi corner yang sempat kami lakukan sebelumnya. Aku berteriak memanggil Evan Dimas. Kukepalkan kedua tanganku dan kuadu keduanya seperti petinju yang bersiap bertarung, kuberitahukan juga kepada seluruh tim. Evan Dimas dan semuanya langsung mengerti dengan maksudku. Semua pemain langsung masuk ke dalam kotak Pinalti dan memadati sudut kiri dan kanan gawang. Hanya diriku dan kedua bek sayap yang berada di luar kotak Pinalti. Evan Dimas memberikan aba aba bahwa dia akan menendang. Semua pemain segera bersiap. Aku yang berada di luar kotak pinalti langsung menerjang masuk. Christian Rodrigues yang menjagaku terpancing dan berusaha menahanku. Tendangan Evan Dimas tidak melambung melainkan mendatar menyusuri lapangan GBK. Bukan para pemain di kotak pinalti yang Evan Dimas tuju, melainkan Dias Angga Putra, Bek sayap kiri Indonesia yang kini terlihat sendirian tak ada yang menjaga di sudut kanan kotak pinalti. Dias segera mengambil ancang ancang untuk menendang Karena semua pemain berada di sudut kiri dan kanan, maka terbukalah ruang yang lebar di tengah tengah. Beberapa pemain Uruguay yang akhirnya menyadari taktik kami segera bergegas mencoba menutup ruang tembak Dias. Namun terlambat. Dias dengan bebasnya menendang bola itu dengan kaki kirinya. Seisi Stadion terdiam melihat Dias melepaskan tembakannya dan melihat Bola terbang bebas dan kencang menusuk ke gawang Muslera. Muslera sendiri tidak bergeming saking kencangnya tendangan Dias. GOOOOOOOLLLL! Penonton GBK langsung bersorak sorai merayakan gol Dias. Seluruh Stadion GBK bergetar oleh gemuruh itu sorak sorai. Dias pun berlari merayakan golnya dengan penuh haru. Air matanya menetes saat kami semua mengerubunginya dengan gembira. Satu menit penuh Gelora Bung Karno bergemuruh merayakan gol Dias. Wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. Gol Dias membuat Aggregate menjadi 4 – 4 dan pertandingan akan dilanjutkan ke Extra time. Gol Dias baru saja menyelamatkan peluang Indonesia untuk masuk Piala Dunia. Coach Ilham memberikan instruksi singkat kepada kami untuk terus menekan dan jangan membiarkan lawan berlama lama dalam memegang bola. Ia juga mengatakan agar kami mempersiapkan mental kami jika nanti pertandingan harus ditentukan lewat drama adu pinalti. Babak pertama perpanjangan waktu akhirnya dimulai. Tampak stamina kedua tim mulai kendur. Dribble dribble pemain tidak lagi selengket di awal awal pertandingan. Kontrol bola kami juga tak jarang yang kurang sempurna. Begitu juga pemain Uruguay, mereka juga merasakan hal yang sama. Terlihat dari cara mereka yang tidak mau mengejar bola yang jauh dari mereka. Kedua tim terlihat menyimpan stamina bila terjadi hal hal penting saja. Hampir tidak ada serangan berarti di babak pertama perpanjangan waktu. Namun suasana berubah ketika memasuki perpanjangan waktu kedua. Uruguay tampak mengerahkan tenaga terakhir mereka untuk menggempur kami. Kamipun akhirnya terpacu untuk merebut bola dan menyerang. Saat serangan Uruguay gagal, Ravi Murdianto segera melemparkan bola kepadaku yang menunggu di tengah lapangan. Gaston Ramirez yang menjagaku berusaha memotong bola itu. Tapi aku yang sudah mengetahui dia akan memotong segera menahan lajunya dengan badanku dan begitu bola tiba aku langsung mengoper bola itu kepada Evan Dimas. Evan Dimas melihat Sjahbandi yang berlari diantara kedua bek tengah Uruguay. Segera Evan Dimas memberikan operan mendatar yang membelah pertahanan Uruguay. Sjahbandi berhasil mengontrol bola dengan baik. Ia yang baru masuk di pertengahan babak kedua memang masih memiliki sisa stamina yang lebih dibanding kami semua. Sjahbandi terus men-dribble bola meskipun dipepet oleh Coates dan harus beradu bodi. Tapi Sjahbandi berhasil mempertahankan keseimbangan badannya dan berhasil mendekat ke kotak Pinalti. Ia lalu melepaskan tembakan mendatar ke gawang Uruguay. Muslera melompat berusaha menepis dan berhasil! Bola hasil tepisan Muslera menyusur ke kanan lapangan dimana Setyo langsung bergerak untuk beradu merebut bola dengan bek sayap Uruguay. Namun Setyo berhasil mendapatkan bola dan langsung melepaskan crossing ke tengah lapangan. Sjahbandi berusaha melompat, namun bola itu terlalu tinggi untuknya. Dibelakang Sjahbandi ada Syamsir Alam yang akan berduel dengan Godin. Godin lagi lagi memenangkan duel udara meskipun kepalanya harus beradu dengan Alam. Bola buangannya terpental tepat ke arahku yang berada di luar kotak pinalti. Aku segera berlari dan tanpa pikir panjang lagi menyundul bola yang sedang menukik itu sekuat tenagaku. Bola yang kusundul terbang ke arah kiri atas gawang Muslera. Muslera kembali lagi harus terbang untuk menyelamatkan gawangnya. Plok..
Srak..
Masuk?
MASUK!
GOOOLLL! Sundulanku membuahkan gol! Aku langsung berteriak kegirangan saat menyadarinya. Seisi stadion juga langsung berteriak bergemuruh. Pemain Uruguay langsung terlihat tidak percaya. Beberapa dari mereka bahkan sampai menggelengkan kepalanya dan tersungkur ke tanah. Astaga, aku tidak percaya aku mencetak gol di pertandingan sepenting ini! Semua rekan timku langsung berlari ke arahku dan memelukku hingga aku terjatuh ke tanah. Semuanya berteriak girang.. Begitupun aku. Aku merasa seperti berada di alam mimpi.. Isyanaaa.. Gol ini untukmuu.. Aku lalu ditarik dan diangkat dari tanah oleh teman temanku untuk kembali ke sisi lapangan kami. Stadion semakin bergemuruh. Semua orang semakin tidak sabar. Tinggal sedikit lagi Indonesia masuk ke Piala Dunia! Uruguay memulai kembali pertandingan dengan serangan mereka yang terlihat putus asa. Gaston Ramires langsung mengumpan ke tengah kotak pinalti untuk membuat kemelut di depan gawang Indonesia. Namun Ravi berhasil mengambil alih dan menangkap bola umpan tersebut dan dipeluknya erat erat bola tersebut. Seisi stadion bersorak girang. Aku melihat papan skor GBK.
114 : 28
Indonesia 2 v Uruguay 3
(Aggregate 5 – 4 )
Masih tersisa enam menit lagi. Enam menit terakhir menuju Piala Dunia. Ravi menendang keras bola yang ia peluk sejauh mungkin. Bola itu terbang ke sisi kanan Uruguay. Disana, Syamsir Alam telah menanti dan bersiap untuk duel dengan Coates. Kali ini Syamsir Alam berhasil menang duel dan ia berusaha menahan bola itu. Coates berusaha merebut namun Alam menutup bola itu dengan badannya. Coates yang terlihat putus asa tampak mendorong Syamsir Alam hingga terjerembab. Wasit meniup peluit sekaligus dan mengeluarkan kartu kuning. Free kick untuk Indonesia! Kami berusaha mengulur waktu dan berjalan dengan lambat untuk mengambil free kick tersebut. Wasit menyuruh kami untuk mempercepat langkah kami. Setyo dan Alam mengambil free kick itu. Setyo mengoper ke Alam dan Alam berusaha sebisa mungkin untuk menutup semua pemain yang ingin merebut bola itu dengan badannya. Ketika ia hampir tidak bisa merebut, Alam segera membuang bola ke dekat tiang corner. Kembali penonton bersorak girang karena kami berhasil membuang waktu. Good job Alam.. Bek sayap Uruguay dengan cepat mengambil lemparan kedalam itu dan melihat Gaston Ramirez tidak terjaga. Gaston segera men-dribble bola dengan cepat ke tengah lapangan sambil melihat pemain yang bisa ia oper. Gawat! Kami terlena.. Gaston segera mengoper ke Arrascaetta pemain sayap kanan, Aku segera berlari mengejarnya dan berusaha mentackle untuk menghentikan pertandingan lewat free kick. Tidak peduli bila aku harus mendapat kartu. Kartu merah sekalipun aku tidak peduli. Yang penting aku harus bisa mematahkan serangan balik ini. Tackleku berhasil menyentuh Arrascaetta dan menjatuhkan dia. Aku langsung melihat wasit dan berpura pura meminta maaf. Ia mengambil peluitnya namun tidak juga ia tiup. Aku bingung dan saat aku melihat ke arah bola, ternyata bek sayap Uruguay yang meneruskan dribbling Arrascaetta. Wasit memberikan Advantage kepada Uruguay. Oh tidak.. Dias Angga Putra berusaha menutup laju bek sayap uruguay, namun momentum berada di tangan mereka. Dias terlambat menutup, Bek sayap itu berhasil mengecoh Dias dan lepas dari penjagaan. Dia lalu memberikan umpan yang membuat barisan pertahanan kami Kocar Kacir. Mahir Radja berhasil memenangkan duel udara dan membuang bola. Namun tidak ada yang menyambut buangannya di luar kotak pinalti. Christian Rodriguez yang paling dekat dengan bola langsung mencoba mengontrol bola dan bersiap menendang. Mahir Radja langsung berlari dan menutup ruang tembak Rodriguez. Namun ternyata Rodriguez tidak ingin menendang, ia mengoper ke Gaston Ramirez. Semua mata bek kami memandang pasrah melihat bola bergulir ke Gaston. Gaston yang tepat berada di tengah kotak pinalti melepaskan tembakan keras. Arthur langsung mencoba melompat membuang badannya untuk menutup bola. Gol.. Gaston Ramirez berhasil mencetak gol dan membuat aggregate menjadi 5 – 5. Bila tidak ada gol lagi yang terjadi, maka Uruguay akan dinyatakan lolos ke piala dunia lewat peraturan Gol Tandang. Seisi stadion terbungkam. Tidak ada yang percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Seluruh pemain Uruguay segera berlari menghampiri Gaston Ramirez yang merayakan golnya di tiang corner. Bahkan pemain cadangan mereka langsung berlari. Manajer Uruguay pun tampak bergembira di pinggir lapangan. Mereka tahu betul betapa pentingnya Gol Gaston Ramires tadi. Kali ini Timnas yang terduduk lesu. Akupun tidak bisa berkata apa apa. Namun kukumpulkan semangatku dan segera berlari mengambil bola yang masih berada di dalam gawang. Kubangkitkan Ravi Murdianto yang tampak berkaca kaca matanya. Kulihat papan skor.
118 : 13
Indonesia 2 v Uruguay 4
(Aggregate 5 – 5 )
Masih ada dua menit.. Kubawa bola itu ke tengah lapangan dan kutaruh di titik tengah. “Sebelum peluit terakhir berbunyi!” Teriakku dengan suara parau. Tidak bisa kusembunyikan bahwa aku juga merasa terguncang. Tapi kita harus tetap berjuang. Pertandingan dimulai kembali. Rasa pesimis sudah sangat terasa di seluruh stadion. Kami berusaha menyerang, tapi Uruguay benar benar langsung menutup rapat pertahanannya. Aku bersikeras. Kucoba men-dribble bola memaksa masuk ke pertahanan lawan. Pemain Uruguay segera mengerubungiku. Aku berusaha merangsek masuk dan mendorong Coates sekuat tenagaku. Aku terjatuh, kulihat wasit untuk meminta free kick. Berhasil! Aku segera bangkit dan berteriak sekeras mungkin untuk menyemangati rekan rekanku semuanya. Mereka tergugah oleh semangatku yang tetap tidak mau menyerah. Evan Dimas mengambil Free Kick. Didepannya enam orang pemain lawan berbaris menjadi pagar betis. Evan Dimas mencoba menendang.. Terblok.. Bola tendangannya terlalu rendah dan mengenai pagar betis Uruguay. Bola terlempar hingga ke dekat tengah lapangan. Penonton terdengar kecewa. Aku kerahkan sisa sisa tenagaku untuk mengejar bola itu. Tidak! Belum selesai.. Belum selesai! Aku tidak akan menyerah.. Sebelum Peluit terakhir berbunyi aku tidak akan menyerah! . . . . . . . . . . . . . . . PRIT PRIITT PRIIIIIIITTTTTTTTTTT! Peluit terakhir berbunyi.. Seisi Stadion Gelora Bung Karno terbungkam. Rekan rekanku tersungkur ke tanah, menangis. Aku melihat Coach Ilham dan pemain pemain yang duduk di bangku cadangan, mereka semua menunduk lesu. Suasana kontras terjadi di pihak Uruguay. Seluruh pemain Uruguay langsung melompat kegirangan dan merayakan kemenangan mereka. Semua penonton tampak tidak bergeming. Mereka turut merasakan rasa sakit yang sama. Sekali lagi Indonesia tidak lolos kualifikasi Piala Dunia. Air mataku tidak dapat kubendung lagi. Aku tersungkur ke tanah dan menangis. Isyana.. Aku sudah berusaha.. Maafkan aku.. Coach Ilham membangunkanku. Ia berusaha tegar menghadapi semuanya ini. “Piala Dunia berikutnya kita pasti masuk.. ” Ucapnya saat membangkitkanku. Aku kendalikan emosiku dan bangkit berdiri. Bersama Coach Ilham aku mengumpulkan rekan rekanku dan mencoba menghibur mereka. Aku lalu melihat Tim Uruguay. Mereka semua berdiri tegak dan menepukkan tangan mereka mencoba menghormati kami. Seisi stadion merasa terharu oleh Uruguay yang menghormati kami. Perlahan seisi Stadion ikut bertepuk tangan untuk menyemangati kami. Yel yel Indonesia akhirnya kembali terdengar. Awalnya hanya sebagian kecil, namun dengan cepat seisi stadion ikut menyanyikan yel yel itu. Bahkan para pemain Uruguay pun ikut menyanyikan yel yel Indonesia untuk menghormati perjuangan kami. Aku menguatkan hatiku dan menghampiri Tim Uruguay. Aku menghampiri Diego Godin sang Kapten. Kuulurkan tanganku untuk menjabat tangannya. “Congratulations.. ” Ucapku kepada mereka. Godin menjabat tanganku dan memegang pundakku kemudian berbisik, “Your team did good.. We’re just lucky.. “. Aku hanya bisa tersenyum meskipun aku tahu senyumanku kecut. Aku menjabat rekan rekannya yang lain, termasuk Gaston Ramirez sang pencetak gol kemenangan. Lalu aku kembali ke timku yang masih belum bisa menerima apa yang terjadi. “Hey.. ” Godin memanggilku lagi saat aku berjalan menjauhi mereka. “Stay strong, Indonesia!” Katanya kepadaku. Aku mengangguk. Stay strong, Indonesia..
======================================
“Dipta sayang..” Ucap Isyana yang berdiri di pintu masuk Ruang Ganti “Kamu ga apa apa? Aku cariin kamu di ruang PSSI ga ada.. Kata mereka kamu masih disini” Lanjutnya. Ia terlihat cantik dengan kemeja putih lengan panjang semi transparan yang menutup tanktop putih didalamnya dan mengenakan rok selutut berwarna merah cerah. Ya memang, semua rekan rekanku sudah pergi meninggalkan ruang ganti ini beberapa saat yang lalu. Mereka semua dipanggil untuk briefing dengan PSSI, sebenarnya aku juga dipanggil. Tapi aku masih ingin di ruangan ganti ini. Merenungkan apa yang terjadi di pertandingan tadi. Aku bahkan belum memakai baju ganti setelah selesai mandi, hanya ada handuk putih yang menutupi tubuh bagian bawahku. Isyana berjalan menghampiriku kemudian duduk di sampingku, di sebuah bangku kayu panjang yang terletak di depan loker ganti para pemain. Isyana mengambil kaos timnasku yang kutaruh disampingku dan ia taruh dipangkuannya. Ia menatapku lama, aku tidak bisa menatapnya. Aku merasa malu karena gagal melakukan tugasku untuk membawa Indonesia masuk piala dunia. “Sayang.. ” Ucap Isyana memelukku dari samping. Ia terus menatapku yang masih tidak bergeming, kekalahan tadi masih terus kuputar di otakku hingga tidak menyadari pasanganku sedang berusaha menghiburku. Tangannya yang lembut menyentuh mukaku dan ia mengarahkan mukaku ini untuk melihatnya. Ia mencoba tersenyum. “Hey.. Jangan sedih gitu dong.. ” Kata Isyana. “Kamu udah berusaha kok.. ga ada yang bisa bilang kamu ga berusaha.. ” “Harusnya.. ” Aku membuka omongan. “Sayang.. Udahlah.. Udah lewat.. ” Kata Isyana. Ia lalu merebahkan kepalanya di pundakku. “Kamu tetep juara buat aku.. ” Aku ga bisa ngomong apa apa. Isyana kemudian bangkit berdiri, lalu duduk di pangkuanku sambil menghadapku. Kedua tangannya ia taruh di leherku. “Kamu mau ngapain?” Tanyaku saat ia duduk di pangkuanku. “Aku pengen buat kamu ngelupain pertandingan tadi.. ” Ucapnya kemudian melepaskan satu persatu kancing kemeja putih semi transparannya hingga memperlihatkan tanktop putihnya. Ia lempar kemeja itu ke sampingku. Dadanya yang lumayan padat terlihat membusung dibalik tanktop ketatnya itu. Kulitnya yang putih mulus terlihat di kedua pundak dan lehernya. “Sayaangg ak.. ” “Sssstt.. ” Isyana langsung menaruh telunjuknya ke bibirku. “Kamu gausah ngomong.. Ikutin aku aja.. ” Katanya memberi perintah. Ia lalu melanjutkan kembali yang ia lakukan, perlahan lahan ia turunkan tali tanktopnya mulai dari yang sebelah kiri kemudian yang sebelah kanan. Tanktopnya belum turun ke bawah karena tertahan bra dan dadanya yang membusung itu. Ia pegang ujung bawah tanktopnya dan dengan cepat menaikkannya ke atas, ketiaknya yang mulus tanpa bulu terlihat ketika dia sedang mengangkat tanktopnya keluar lewat kepalanya. Terlihatlah badan atas Isyana mulai dari dadanya yang masih tertutup oleh Bra hitam dengan motif merah di cupnya hingga ke perutnya yang putih dan mulus. Tanganku yang sebelumnya berada di bangku ia ambil dan ia taruh di pinggangnya. Tubuhnya terasa hangat dan mulus. Ada desiran yang kurasakan di dalam tubuhku. Isyana lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku dan mencium bibirku, aku dapat merasakan rasa buah Cherry dari Lip Balm yang ia pakai di bibirnya. Ia lalu mencium pipiku, lalu turun ke leherku. Kemudian ia menatapku kembali untuk melihat reaksiku. Akhirnya aku tersenyum “Nah gitu dong sayang.. ” Katanya senang dan dia kembali menciumku. Salah satu tanganku mulai bergerak untuk memegang cup branya yang berukuran sedikit lebih besar dari telapak tanganku. Kuraba dan kuremas bra Isyana hingga payudaranya semakin menyembul keluar dari branya. Sementara tanganku meremas bokongnya tepat diantara belahan bokongnya. Isyana lalu melepaskan ciumannya dan menepis tanganku yang memegang dadanya. Tangannya bergerak kepunggungnya untuk melepaskan pengait branya. Saat pengaitnya terlepas, Isyana tidak buru buru melepaskan cupnya. Tangan kanannya menahan agar cupnya tidak jatuh sementara tangan kirinya dengan perlahan melepaskan tali branya. Begitu kedua tali terlepas dari tangannya barulah Isyana melepaskan pegangannya dari cup itu. Dengan pelan terjatuhlah bra Isyana dan menunjukkan sepasang payudaranya putih bersih dengan puting susunya yang berwarna coklat muda. Hawa nafsuku langsung meningkat begitu melihat pemandangan indah itu. Isyana merasa senang saat melihatku begitu tertarik oleh payudaranya. Isyana lalu mencondongkan badannya kearahku dan kedua tangannya merapat kedadanya, membuat payudaranya bergerak dan saling beradu di tengah. Aku menahan nafasku saat melihat payudara Isyana seperti itu. Aku melirik Isyana dan melihat tampangnya yang menggodaku. “Kamu mau ini?” Tanya Isyana menggodaku. Tangan kirinya menggenggam payudara kirinya dan ia memainkan puting susunya. Aku mengangguk dan langsung kutenggelamkan kepalaku ke payudara Isyana. Tangan kananku memegang punggungnya dan mendorongnya kearahku supaya aku makin menikmati desakan payudaranya di wajahku. Kumainkan puting susu Isyana hingga membuat Isyana mulai mengeluarkan desahannya. Isyana mulai merem menikmati rangsangan yang kuberikan di kedua payudaranya. tangan kirinya terangkat mengusap rambut panjangnya sendiri sementara tangan kanannya ia letakkan di leherku dan menekanku untuk tidak melepaskan wajahku dari Payudaranya. Desahan Isyana semakin menjadi jadi. “Sayang jangan terlalu berisik nanti kedengeran orang.. ” Ucapku disela sela menghisap payudaranya. Isyana langsung menurut dan menahan desahannya. “Masukkin sayang.. ” Ucap Isyana kepadaku. Mukanya sudah memerah menahan nafsu yang sudah diubun ubun. Aku lalu meraih retsleting roknya yang berada di belakang dan melepaskan pengancingnya serta menurunkan retsletingnya ke bawah. Setelah itu langsung kudodorkan Rok merah menyala Isyana sampai ke batas lutut. Isyana memakai celana dalam model G-string dengan warna hitam di sisi dan warna merah di tengah. “Sebentar.. ” Ucap Isyana kemudian berdiri dan melepaskan roknya sendiri. Payudaranya yang padat dan ranum itu bergoyang pelan saat Isyana melepaskan rok dan celana dalamnya, memperlihatkan Vagina Isyana yang ditumbuhi bulu bulu halus yang cukup lebat namun terawat. Aku juga segera melepas handuk yang masih melingkar di badanku. Penisku yang sudah berdiri tegak langsung terlihat begitu kulempar handukku ke lantai. Isyana kembali menyuruhku duduk dan dia segera duduk diatas pangkuanku. Ia pegang penisku dan ia arahkan masuk ke dalam vaginanya. “Hhhh.. ” Desah Isyana saat penisku ambles masuk ke dalam vaginanya. Aku cium bibirnya saat Isyana mulai menggerakkan pinggulnya. Aku juga menggerakkan bokongku ke atas untuk mendorong penisku masuk lebih dalam. “Uhhh gila, enak banget sayang.. ” Ucap Isyana. “Kalo ada yang masuk gimana nih?” Tanyaku dan menghentikan ‘tusukan’ ku. “Makanya kamu cepetan keluarnyaa.. ” Ucap Isyana kemudian menggenjot kembali pinggulnya. Baru saja berlanjut sebentar, kami berdua mendengar ada langkah kaki dari lorong. Kami berdua segera bangkit dan aku menuntunnya ke ruang mandi pemain yang berada satu ruangan dengan ruang ganti. Dari balik tembok ruang mandi kami mengintip mencari tahu langkah kaki siapa itu. Namun langkah itu justru terdengar menjauh, sepertinya hanya orang lewat saja.. Mungkin petugas kebersihan stadion.. Aku dan Isyana tertawa, benar benar pengalaman berhubungan intim yang berbeda dari yang biasanya kami lakukan. Pengalaman berhubungan intim kami berdua termasuk kedalam kategori pasangan konvensional. Semuanya selalu dilakukan diatas ranjang, paling paling keluar sedikit ke sofa ruang tamu. Bahkan bercinta di kamar mandi saja tidak pernah. Makanya pengalaman kali ini benar benar terasa ‘liar’ dan membuat birahi kami membakar otak kami hingga melupakan logika. Tawa kami berdua akhirnya terhenti. Kami berdua kembali saling melihat dan akhirnya kembali berciuman. Aku pojokkan Isyana ke tembok hingga punggungnya menempel di tembok. Kuangkat badannya dan kutopang dengan badanku. Kaki Isyana langsung melingkar di pinggangku. Tangan kanannya memegang leherku sementara tangan kirinya memegang tembok. Kualihkan ciumanku ke leher Isyana. Isyana tampak menikmati ciuman yang kuberikan ke lehernya yang putih mulus itu. Ia menggigit bibir bawahnya sambil menikmati rangsangan yang ia rasakan. Kuhujamkan penisku ke dalam vagina Isyana dan kugerakkan pinggullku. “Sa-sayaangg.. Aaahh.. ” Desah Isyana. “Enak bangeettt.. ” Lanjutnya mendesah keenakan. Mungkin karena aku baru saja mengeluarkan tenaga yang cukup banyak selama 120 menit, aku merasa tidak kuat menopang berat badan Isyana. Dengan cepat lututku gemetar.. Namun aku masih ingin melanjutkan hubungan intim ini. Belum puas nafsuku, apalagi pengalaman kali ini begitu berbeda.. Kuturunkan Isyana dan kuajak dia ke tempat Shower. Terdapat 6 pasang Shower di kiri dan kanan ruangan ini lengkap dengan tempat sabun di samping tuas airnya. Ruangan itu berwarna putih cerah dengan keramik kotak kotak kecil. “Kalian mandi bareng disini ya setelah tanding?” Tanya Isyana heran saat kugandeng dia ke ruangan itu. “Iya.. ” Jawabku singkat. Kemudian aku menyuruhnya menghadap ke tembok dan menunggingkan badannya hingga kedua bokongnya yang cukup padat itu menganga memperlihatkan isi belahannya. Dari belakang bibir Vagina Isyana terlihat merekah. “Ih kalian ga ngerasa jijik apa mandi bareng gitu?” Tanya Isyana sambil mengikuti perintahku. Mukanya bersender ke tembok. Payudara ranumnya menggantung ke bawah. Kedua tangannya kupegang. “Kenapa harus jijik sayaangg?” Tanyaku bingung. “Ya kan kalian cow.. Aaakkhh.. ” Isyana tidak dapat menyelesaikan kalimatnya karena aku sudah menghujamkan penisku ke dalam vaginanya. Isyana langsung merem melek keenakan. Nafasnya mulai memburu. Kumainkan tempo keluar masuknya penisku. Saat keluar aku keluarkan dengan pelan, namun saat masuk kuhujamkan dengan kencang hingga membuat tubuh Isyana bergetar. “Uuukhh.. ” Desah Isyana sambil merem. Kulepaskan kedua tangannya dan dia langsung memegang tembok. Kutingkatkan tempo permainanku hingga kedua badan kita beradu dan mengeluarkan bunyi mengepak yang cukup kencang. Nafas Isyana semakin tak beraturan, “Sayaaanngg… Aaaahhhh.. ” Desahnya semakin lama semakin kencang. Terus kupacu pinggulku semaksimal mungkin. Kupegang payudara Isyana yang bergerak naik turun. Kuremas payudaranya sementara tanganku yang satu lagi menarik rambutnya hingga kepalanya terdongak ke atas. Kurasakan otot otot vaginanya mengencang dan mencengkeram penisku yang bolak balik masuk kedalamnya. “Saayaaaannngggkkkhhhh.. ” Desah Isyana. Matanya merem menunggu orgasme yang akan datang. “AAkkkhhh!” Teriak Isyana saat orgasme itu datang. Tangannya yang memegang tembok bergerak tak beraturan dan tak sengaja memutar tuas Shower hingga airnya menyala dan menyiram kami dengan air yang cukup dingin. Byyuuuurrrrr! “Aaww!” Teriak Isyana kaget karena terkena air dingin. Namun ia dengan cepat langsung tidak menghiraukannya dan menikmati kedutan kedutan orgasme yang ia rasakan di vaginanya. Aku sendiri menurunkan tempo permainanku ke tempo yang lebih stabil sesuai dengan cengkeraman otot vagina Isyana agar dia dapat menikmati orgasmenya. Saat otot vaginanya menguat, kuhujamkan penisku. Saat otot vaginanya meregang, kutarik penisku. Gerakan ini membuat Isyana benar benar menikmati orgasmenya. Akupun merasa nikmat karena setiap kali aku menghujamkan penisku, seluruh penisku mulai dari batang hingga kepalanya langsung terasa seperti dicengkram dengan kuat oleh otot vagina Isyana yang sudah dipenuhi cairan kemaluannya. Tubuh kami berdua langsung basah karena Shower yang menyala itu. Namun itu justru membuat permainan kami semakin nikmat. Melihat punggung mulus Isyana yang putih itu basah mengkilap terkena air dan cahaya lampu seperti makin menambah libidoku saja. Apalagi melihat payudaranya yang bergantung bebas, bulir bulir air melewati payudara Isyana dan jatuh didaerah puting susunya, ingin rasanya kuhisap payudara itu. Isyana lalu membalik badannya dan menciumku dibawah derasnya air shower yang menerpa muka kami berdua. Kami berdua tersenyum. Dikalungkannya kedua tangannya ke leherku. “Enak banget sayaanngg.. ” Ucapnya sambil mengecup bibirku dengan mesra. “Sekarang giliran kamu yaa.. ” Aku mengangguk. Isyana kemudian membalikkan lagi badannya. Ia tempelkan badannya ke tembok. Ia ambil kedua tanganku dan ia taruh di kedua payudaranya kemudian ia tekan badannya ke tembok sehingga tanganku terjepit oleh tembok dan payudaranya. Ia tunggingkan sedikit bokongnya hingga bibir vaginanya kembali terlihat dari belahan bokongnya. Ia menengok dan melihatku dengan pandangan menggoda saat aku mulai memasukkan kembali penisku ke dalam vaginanya. “Ugh.. ” Desahnya pendek. Ia matikan shower yang menyala itu hingga hanya terdengar bunyi tubuh kami berdua yang beradu. Kadang kadang bunyi tetesan butiran air yang jatuh dari shower menuju ke lantai yang terdapat genangan air juga terdengar. “Kamu seksi banget sayang malam ini.. ” Ucapku memujinya yang sedang menikmati lagi permainanku. Bulir bulir air bergerak jatuh dari punggungnya saat kuhentakkan pinggulku dengan cepat dan memasukkan penisku semakin dalam ke vagina Isyana. “Aaahhh.. ” Lenguhku saat kurasakan tanda tanda aku akan keluar. Kedua tanganku yang masih terhimpit dadanya dan tembok kugerakkan. Kucubit puting susu Isyana yang keras, kulit kulit di Areolanya juga mengeras dan menjadi sangat sensitif. Kupercepat pergerakan pinggulku. Bunyi kepakan tubuh kita berdua semakin keras. “Aku mau keluar sayaangg..” Ucapku saat tanda tanda itu semakin terasa. Kutahan orgasmeku selama mungkin. Kakiku sampai berjinjit menahan orgasmeku. Aku ingin ejakulasiku kali ini benar benar keluar semua. Isyana kemudian berusaha membalik badannya dan berlutut. Namun belum sempat ia membalik badannya aku sudah keburu keluar. “AAAaaaaaahhhh… ” Teriakku saat akhirnya aku tidak bisa menahannya lagi. Kucabut penisku dan Spermaku langsung tumpah di bongkahan pantatnya. Isyana yang sedang membalikkan badannya dan berlutut akhirnya terkena semprotan spermaku yang muncrat dengan maksimal. Kukocok penisku untuk memaksimalkan rasa orgasmeku. Spermaku masih muncrat ke dada dan muka Isyana. Ohhh betapa nikmatnyaa.. Isyana lalu membantuku mengocok penisku dan sesekali Isyana memasukkan penisku ke dalam mulutnya dan ia kulum penisku. Sisa sisa ejakulasiku masih keluar dan tumpah ke dalam mulut Isyana. “Sayang.. kamu bener bener ya malam ini.. luar biasa.. ” Ucapku saat ejakulasiku selesai. Isyana yang berlutut dihadapanku tersenyum dan mengelap sisa sisa spermaku yang ada dimukanya dan di dadanya. “Tumben tumbenan sayang kamu mau kaya gitu.. Biasanya kan ga pernah.. ” Ucapku sambil membantu Isyana berdiri. Isyana lalu memutar kembali tuas shower dan membersihkan badan dan mukanya dari spermaku. Aku lalu memeluknya dari belakang. Isyana membalikkan badannya dan memperlihatkan mukanya yang sudah bersih dari spermaku. Wajah kami berdua basah terguyur air shower. Namun aku bisa menatap wajahnya dengan jelas. “Iyaa.. Demi kamu! Udah lupa kan sama pertandingan tadi?” Kata Isyana. Aku tersenyum. Gila.. Kalau harus merasakan kekalahan pahit seperti tadi demi bisa merasakan berhubungan intim seperti ini sih.. Aku rela mengulang kekalahan tadi berkali kali..
ACT 3 – END