4 Days with Gita Sinaga
Aku sendiri sibuk dengan pekerjaanku sebagai staff keuangan salah satu perusahaan outsourcing disamping hubunganku dengan Sibad masih intens. Sesekali, ia masih mengajak untuk berhubungan badan ketika tidak ada jadwal manggung. Aku pun tetap bertahan dengan gaya pertemuan yang terus sembunyi – sembunyi. Weekend adalah hari terbaik yang selalu aku tunggu. Selalu menjadi hari yang aku beri untuk mengistirahatkan badan. Namun, tidak dengan Weekend kali ini. Aku diberi perintah untuk menukarkan uang ke salah satu money changers di Plaza Senayan. Sebuah tempat rekreasi berprestise di kawasan bisnis Sudirman Jakarta. Aku tidak terlalu mengenal tempat itu. Yang aku tahu tempat itu adalah tempat yang berkelas. Sabtu pagi, dari rumahku di bekasi utara. Dengan kuda besi yang biasa menemani, aku pergi menuju Plaza Senayan. Cukup jauh perjalanan yang aku tempuh. Aku mengambil parkir liar yang dilegalkan di depan Ratu Plaza Senayan. Sebenarnya, aku tidak dapat mengambil di tempat itu. Namun, karena koneksi dan ada unit disana yang dikelola perusahaan outsourcing bekerja aku dapat mengambil parkir sekaligus melakukan kunjungan sejenak di unit cabang. Aku memasuki Plaza Senayan dan menjelajah setiap sudutnya sambil mencari money changer. Kebetulan, sedang ada acara peluncuran mobil terbaru dari perusahaan otomotif ternama. Cukup ramai acara tersebut, apalagi acara tersebut dimeriahkan oleh artis. Aku melihat wajahnya yang cukup familiar. Ya, itu adalah Gita Sinaga. Wajahnya yang khas dan rambut sebahunya membuatnya nampak sedap dipandang. Ia bertindak sebagai MC bersama seseorang yang tidak aku kenal. Aku memandangi Gita cukup lama. Tenang sekali membayangkan wajahnya. Aku hampir lupa dengan tugasku. Aku bertanya kepada Petugas Keamanan dan bergegas menuju money changer. Tempat itu berkonsep minimalis. Nampak seorang bapak – bapak Tionghoa duduk dibalik etalase. “Silahkan. Selamat datang di xxxx Money Changer. Mau tukar atau beli?” Sapanya ramah dalam aksen Tionghoa. “Iya, saya dari PT. Xxxxxx.” “Ah, dari Pak Harman ya?” “Iya Pak. Saya utusan Pak Harman. Beliau meminta saya kesini dan mengantar sejumlah uang. Beliau membutuhkan Dollar Amerika.” “Aku sudah meneleponnya tadi. Telah aku siapkan juga uangnya.” Aku mengeluarkan sebuah deposit box dari tas. Aku membukanya dan menyerahkan semua tumpukan uang rupiah dalam kotak tersebut. Bapak itu menghitungnya. “Uangnya sudah sesuai. Saya ambil dahulu uangnya.” “Baik, Pak.” Bapak itu bangkit dan mengambil beberapa bundel uang Dollar Amerika. “Totalnya 5000 Dollar dalam pecahan 100 Dollar. Silahkan.” Aku memasukkan uang tersebut ke Deposit Box. Seseorang membuka pintu dan mendekati etalase. “Om Henri. Gimana uangnya? Ada kan?.” Kata seseorang yang ternyata adalah Gita Sinaga. “Tentu, buat Ci Gita ada lah pokoknya.” Aku mencoba menyapanya. “Gita Sinaga, ya?” “Iya.” Balasnya dengan senyuman “Saya melihat anda tadi di acara launching tadi.” “Terimakasih.” Pak Henri memberi sebuah amplop coklat kepadanya. “Semuanya ada di dalam, ya.” “Seperti biasa ya, Om.” Ia terburu – buru pergi. Pak Henri masih berbincang kepadaku tentang Pak Harman, atasanku. Beliau bercerita tentang kedekatan dan bisnis money changer miliknya. Ponsel Pak Henri berdering. “Iya, Ci Gita. Ada apa?” “Koh, koq gak sesuai ya?” Pak Henri berjalan ke belakang. “Aduh, Ci Gita. Saya salah ambil amplop.” “Aduh gimana dunk, Om.” Aku mendengar percakapan mereka karena volume ponsel cukup terdengar. “Pak, biar saya saja yang mengantar.” “Aduh. Bagaimana ya?” “Bapak bisa menghubungi atasan saya dan ke saya.” Aku mengeluarkan sebuah kartu nama yang tertera nama dan nomor ponsel. “Baiklah, kalau begitu. Saya minta tolong amplop ini diantar ke orang yang tadi.” “Bagaimana saya dapat menemuinya?” Pak Henri menelepon Gita dan berbincang sebentar. “Ia ada di mobilnya. Platnya B xxxx di Parkiran lantai 2.” Aku keluar dari Money Changer dan menuju parkiran lantai 2 dan kucari mobil dengan Plat yang telah diberitahu sebelumnya. Setelah beberapa saat, aku melihat Gita kesal menendangi ban mobilnya. “Ada apa ya mbak?” “Mas yang tadi di Money Changer ya?” “Iya mbak. Oiya, sekalian saya menyerahkan amplop dari Pak Henri.” Ia menerimanya. Namun, kesalnya belum juga beranjak. “Bannya kempes. Ada ban spare?” “Ada di bagasi belakang.” “Boleh saya bantu?” “Gak apa – apa nih?” “Iya, saya berusaha untuk bantu saja.” Lengan kemeja kusingsingkan hingga setengahnya. Kuambil dongkrak dan peralatan yang tersedia di mobil. Tidak lupa, Ban spare telah aku siapkan di sampingku. Dongkrak memompa sisi kanan depan mobil. Baut dan mur terlepas dengan usahaku disertai alat. Ban spare terpasang dan dan kukencangkan. Gita melihatku dengan antusias. “Sudah selesai, Mbak. Nanti bannya segera diperbaiki.” “Syukurlah kalo gitu. Aku bisa mengembalikannya kepada Kara?” “Maksud mbak, Girindra Kara?” “Kamu tahu? Mobil ini punya dia.” “Ya tahu mbak. Profesinya juga aktris.” Gita mengambil sebuah botol minuman. “Diminum aja dulu biar tidak haus.” Air mineral dari botol itu mengalir membasahi kerongkongan. “Mas kerja sama Om Henri?” “Ah, tidak mbak. Saya kebetulan saja menukarkan uang atasan saya disana.” “Jangan panggil mbak. Gita aja.” “Iya deh Gita…” Aku menggaruk kepalaku. “Kenapa kamu?” “Berasa aneh aja.” Ia tertawa mendengar kataku tadi. “Nama kamu siapa?” “Grha.” “G..Ggggr…ap?” “G-R-H-A” “Grha? Namamu unik.” “Mbak Gita eh maksudnya Gita juga unik koq.” “Unik apanya?” “Senyumnya.” “Ih..Gombal kamu ya.” Kami pun berbincang sejenak. “Oiya, nih ada sedikit rezeki.” “Gak perlu, Gita.” “Rezeki jangan ditolak, lho.” “Aku gak nolak. Cuma kasih aja ke panti asuhan atau anak yatim. Mereka lebih butuh. Itung – itung juga Gita beramal.” “Begitu ya? Aku juga sekarang lagi beramal. Tapi, sama kamu.” “Ya udah kalau gitu. Aku terima uangnya. Nanti aku pakai untuk amal.” Beberapa lembar lima puluh ribuan telah berpindah tangan. “Kamu kotor begitu. Nih, pake saputangan aku.” Ia menyerahkan sapu tangannya. Sebuah kain persegi berwarna putih bergaris pink dengan inisial G.S. “Makasih ya, Git.” “Aku yang makasih harusnya. Kamu udah bantuin aku. Aku pergi dulu ya. Udah ditungguin.” Ia masuk ke dalam mobil. Aku mengetok kaca mobilnya. “Gita, aku boleh…..” “Minta no telepon? Aku kira kamu gak minta.” “Iya. Kalau boleh sih.” Ia tersenyum kepadaku. Dan, ia memberi sepucuk kertas bertuliskan nomor pribadinya. “Jangan lupa hubungin aku dan jangan disebarin.” “Tentu, Gita.” “Nanti malam ada acara? Datang ke event Slalom di Blu Plaza Bekasi. Aku hadir sebagai bintang tamu.” “Kebetulan rumahku di bekasi.” “Bagus kalo gitu. Ini, aku kasih IDcard Personal. Nanti kamu bisa ke Backstage. Kita ketemu disana.” “Baiklah, Gita. Hati – hati di jalan.” “Iya. Kamu juga.” Mobil MPV itu melaju meninggalkan area parkir. Setelah itu, kucari kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku keluar dari Plaza Senayan dan kembali ke Bekasi. Di jalan, aku melihat seorang kakek tua duduk di halte. Ia memakai atribut militer. Kuhentikan motorku dan menghampirinya. “Bapak kenapa ada di sini?” “Jualan, Cu.” Ia menunjuk dagangannya yang berupa minuman botol, rokok, dan permen. “Bapak mantan tentara?.” “Iya, Cu. Dahulu, kakek berperang melawan para penjajah. Pengorbanan jiwa raga sudah menjadi keharusan bagi kemerdekaan negara ini. Setelah perang berakhir, kakek harus mencukupi kebutuhan sendiri.” “Kakek tidak ada sanak saudara?” “Keluarga, kerabat, dan saudara kakek sudah tidak bisa mengenali kakek. Mereka semua menganggap kakek sudah tidak berguna.” Tidak tahan dengan penderitaan yang diungkapkan, aku menyudahi pembicaraan tersebut. “Kek, ada sedikit rezeki. Mohon diterima.” Aku memberikan uang pemberian Gita untukku. “Apa ini, Cu?” “Diterima saja. Itu lebih berguna untuk kakek.” Kakek itu menitikkan air mata. Ia terharu. Aku memeluk menenangkannya. “Makasih, Cu. Cucu udah mau menolong kakek.” “Rezeki ini dari Gita Sinaga, kakek. Kakek seperti kakek saya sendiri. Saya sedih dengar kehidupan kakek sekarang.” Dari seberang jalan, sebuah mobil berhenti. Ia melihat dan kemudian terharu. Gita menyeka air matanya. Tanpa banyak berkata, ia menjalankan mobilnya. Tangisnya semakin tidak tertahankan jika berlama – lama disana. Aku kembali meneruskan perjalanan. Sebuah sms dari Sibad cukup menggodaku. “Sayang, lagi di Ambassador nih abis belanja. Ke parkiran dunk, pengen ngentotin kamu. Masih di jakarta ‘kan? Aku di basement 2 dekat tiang xx” Aku merubah arah perjalananku ke Mall Ambassador dan singkat cerita, aku telah bertemu dengan Sibad di mobil. “Sayang, pindah ke belakang.” Aku menurutinya. Ia menaikkan rok span pendek ke atas hingga menampakkan memeknya yang tercukur rapi. Tidak lupa, ia menaikkan pakaiannya keatas sekedar untuk memamerkan dadanya yang kencang. “Suka?” Tanyanya binal. Kontolku menegang tidak karuan. Celana jins yang aku kenakan terasa sempit. Kulucuti celanaku dan menampakkan kontol yang tegang. Sibad melihatku kegirangan. “Uuuhhh….***tel nih memeknya. Pengen digarukin pake ini.” Katanya sambil mengelus kontolku pelan. Didekatkannya mukanya ke kontol dan menghisapnya agar basah semata. “Yakin langsung dimasukkin? Gak perih?” Tanyaku. Semenjak ia berhasil ngentot denganku. Perlahan, ia mulai membiasakan diri dengan ukuran kontolku. Ia berasumsi, semakin banyak ngentot, semakin nikmat rasanya. Aku sendiri tidak pernah memakai kondom dengannya. Pernah aku memakainya, ia menyiksa kontolku dengan dijepitnya sampai ngilu hingga aku gagal ejakulasi. “Udah basah memek akunya. Buruan.” Aku memasukkan jariku untuk memastikannya. “Kering memek kamu nih. Boong kamunya.” Ia menyeringai sengaja membohongiku. Aku menampar mukanya hingga ia cukup tersakiti. Romansa seperti ini yang disukainya, menjadi wanita lemah yang tersakiti. “Ampun sayang, ampun. Jangan tampar lagi.” “Dasar perek. Memek kering lu bilang basah. Ngentot lu. Emut nih kontol.” Aku mencacinya agar birahinya semakin naik. Ia mengulum kontolku. “Masukin semuanya, perek. Kepalanya doank. Lu kira masih imut bibir lu? Emut ampe muntah2 lo.” Ia memasukkan kontolku jauh ke dalam mulutnya. Ia sudah pernah mengemut kontolku sampai penuh hingga ia tersedak. Tetapi, ia lebih menambahi drama agar terkesan menyenangkan. Cukup lama ia mengulum kontolku yang berkedut di dalam mulutnya. Kucabut kontolku yang sudah basah oleh liurnya dan meludahi bibirnya yang kemudian dilumurkan pada memeknya. “Masukkin pelan – pelan yah. Kontol kamu lebar soalnya.” Iba Sibad kepadaku. Kumasukkan perlahan kontolku ke dalam memeknya. “Oooccchhhh…..iya terus…….uuuccchhhh.” Ia mendesah penuh nikmat dan aku memacu Sibad mengejar nikmatnya ragawi. “Sayang…..kamu….ngapain….disini….” “Oohhh…..tadi…uuucchhhh……ada pentas…..yeeeaaahhh……undang aku……..sssshhhhh……..mmmmmmhhhhhmmmm…….” “Udah……selesai….” “Belum…..lagi istirahat…….sssshhhhh……aahhhhh…..” Ponsel Sibad berdering. “Sibad, kamu dimana? Acaranya udah mau mulai lagi.” “I-iya…lagi….tanggung…..bentar…lagi..selesai.” “Buruan kalo ke toiletnya.” “I-iya…bawel.” Ia tetap menelepon ketika aku sibuk memacu tubuhnya. “Lama banget sih keluarnya. Aku udah mau ada acara lagi.” “Iya bentar lagi.” Kutambah ritmeku semakin beringas. Ia juga semakin liar memainkan kontolku. “Sayang, aku mau keluar.” “Aku juga. Barengan keluarnya.” Kami berdua orgasme bersamaan. Pejuhku bercampur dengan cairan nikmatnya di dalam memeknya dan nafas kami tersengal – sengal seperti selesai berolahraga. “Makasih sayang, memek kamu enak banget.” “Kontol kamu gak ngebosenin. Pengen terus ngentot sama kamu.” Aku membelai rambut yang tergerai di wajahnya. “Iya sayang. Tapi, kamu sekarang punya acara yang harus diselesein. Nanti kan kalo ada kesempatan lain, kita bisa lagi kan?” “Pasti lagi kalo itu.” “Oiya, Jangan masturbasi di mobil sambil bayangin aku. Kemeja aku kamu cium baunya. Kan udah ada aku.” “Kamu ngintip ya waktu itu?” “Kebetulan saja aku melihatmu dan memuaskan diriku juga.” Ia mencium bibirku dan aku membalasnya dengan mesra. “Sayang, kamu bisa temenin aku disana? Masih kangen sama kamu. Kamu liat dari jauh aja.” Katanya sambil membetulkan pakaiannyam “Bisa. Tapi, gak lama. Aku mesti nganterin titipan bos aku.” “Iya. Liatin aku nyanyi abis itu boleh kamu tinggal.” Aku keluar dari mobil dan menuju tempat show Sibad. Sibad kemudian menuju backstage. Kami berjalan berjauhan. Tidak mengenal satu sama lain. Show berlangsung meriah, ia menyanyi dengan ekspresif. Sesekali, ia melihat ke arahku dengan tatapan matanya yang mampu melumpuhkan pria manapun. Dari kejauhan, aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya yang selesai menyanyi di panggung. Aku segera kembali ke rumah dan menyelesaikan pekerjaanku. Semoga, aku masih bisa bertemu Gita nanti di event Slalom. Kukirim pesan singkat basa basi saat aku berada di rumah. Ia merespons dengan baik. Kami bertukar pesan membicarakan hal yang penting sampai tidak penting. Ia mengakhiri karena mempersiapkan event Slalom nanti. “Dateng ya ke Event. Aku tunggu kamu disana. Btw, you’re a good man to see. Not much like you do before.” Aku tidak mengerti maksud ucapannya. Namun, aku putuskan untuk bertanya kepadanya nanti. Sibad tidak menghubungiku setelah apa yang aku alami bersama. Toh, aku tidak boleh berharap dan sadar diri. Pepatah bilang “humans do good things in sex. But, not the relations. They’re fear to be bound in freedom in the name of legal married.” Petang hari, aku bersiap menuju event tersebut. Meski kuda besi yang kupunya tipe cub, tidak menyurutkan langkahku. Ini hanya event otomotif biasa. Kuda besiku mengaspal dengan santai hingga aku melihat seseorang tengah kebingungan dengan mobilnya. Mobilnya nampak seperti sebuah hatchback yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Kuhampiri orang tersebut. “Kenapa mas mobilnya?” “Sepertinya kehabisan bensin. Damn.” “Bukannya tinggal beli di eceran.” “Bahan bakarnya cuma bisa dibeli di daerah Kalimalang. Kerang Kuning. Kebetulan aku ingin kesana. Namun, kekasihku tidak akan mengijinkan aku meninggalkannya sendirian. Aku juga dikejar waktu untuk event di Blu Plaza.” “Event Slalom?” “Iya. Aku mengikuti salah satu lomba.” “Baiklah, aku akan membelikannya untukmu. Tunggu disini. Aku akan kembali.” “Benarkah? Aku akan sangat berterimakasih. Ambillah Kartu Bahan Bakarku. Aku sudah menghubungi mereka untuk menyiapkannya. Hanya, tidak ada yang mengantarnya kesini.” “Kau masih akan menunggu disini? Apa tidak terlambat?” “Aku memanggil mobil derek untuk mengantarku kesana. Kau bawa saja ke tempat Event. Oiya, Namaku Bhumi. Teman – temanku lebih sering memanggilku Ibum.” “Namaku Grha. Baiklah aku akan kembali dalam waktu yang tepat.” Dengan cepat, aku menuju SPBU yang dituju di daerah Kalimalang. Aku langsung menunjukkan kartu kepada salah seorang petugas dan ia memberiku 2 jerigen bahan bakar yang cukup besar. Aku meminjam kantong rak motor yang aku taruh di belakang kanan dan kiri. Menempatkannya di tempat tersedia, aku langsung menuju event. Sesampainya, dengan peluh yang membasahi badan. Aku memasuki tempat event dengan memakai IDcard Personal. Penjaga di depan mengecek IDcard yang kupunya dan menanyaiku. “Dapat IDcard ini darimana?” “Aku mendapatkannya dari temanku.” “Kami tidak percaya. Jangan – jangan palsu.” Aku bersikeras bahwa IDcard itu asli. Syukurlah, Bhumi melihatku bersitegang dengan penjaga. “Ah, Grha. Bagaimana?” “Aku sudah membawanya. Tetapi, penjaga tidak memperbolehkanku masuk dengan alasan IDcard palsu.” “Grha adalah orang yang mengurus bahan bakarku. IDcard itu dariku. Ijinkan dia masuk. Aku membutuhkannya apa yang dia bawa.” Penjaga itu terdiam. Ia mempersilahkanku masuk dengan terpaksa. “Terimakasih, Bhumi. Kau menolongku tadi.” “Kau juga sudah menolongku dengan bahan bakar ini.” Bhumi membawa 1 jerigen yang aku bawa. Ia menuju mobilnya dan mengisi bahan bakarnya. “Tapi aku penasaran. Bagaimana kau mendapatkan IDcard personal. Aku sendiri saja hanya mendapat IDcard Guest.” “Gita Sinaga memberikannya padaku.” “Gita Sinaga? Maksudmu MC di event ini? Bagaimana kau mengenalnya?” “Aku pernah membantunya dengan mobilnya. Dan, ia memberikannya kepadaku.” “Kamu beruntung bisa berkenalan dengan Gita Sinaga. You Know, she’s fucking damn sexy bitch pain in the mouth.” “Maksudmu?” “Iya adalah MC off air yang seksi. Kamu akan tahu ketika kamu melihatnya nanti memandu event kali ini.” “Bisa Drift? Slalom?” “Mobil saja aku tidak punya.” “Oh..sorry. I didn’t know that.” “It’s okay, Bhumi.” “Well, just hang ’round here and say you’re my fuelman. You’ll be respected.” “Thanks, Bhumi. Aku tidak dapat membalas kebaikanmu.” “You scratch me, I’m scratch you. Got it?” Kami pun tertawa bersama. Bhumi mengenalkan teman – temannya kepadaku. Acara pun dibuka dengan serangkaian lomba dan hiburan. Dan tentu saja Gita hadir disana. Aku memandangnya dari tempat berada. Ia memakai kemeja pendek yang sesuai dengan lekuk tubuhnya. Dengan jins robek menambah keseksiannya. Suaranya mendebarkan hati. “Grha, kau mau menemuinya?” “Iya, jika ia sudah turun panggung.” “Go get her, right?” Aku meninggalkan Bhumi yang masih sibuk dengan mobilnya. Aku segera menuju backstage. Dengan IDcard yang aku miliki. Aku menyusuri tempat itu. Kutemukan dia tengah duduk sendiri dengan botol minuman yang kosong. “Hei, Gita.” “Hei, Grha. Kupikir kau tidak akan datang.” “Mana mungkin aku tidak datang? Orang secantik kamu yang undang aku.” “Duduk gih. Temenin aku istirahat.” “Duh , keringet kamu banyak tuh.” Aku menyekanya dengan saputangannya yang pernah dipinjamkannya. Ia terdiam terkejut. “Kau masih menyimpannya?” Katanya membuyarkan kediamannya. “Masih. Aku berniat untuk mengembalikannya. Tetapi, sekarang sudah basah. Mungkin harus pakai handuk kali.” “Dasar kamu ya. Memangnya aku mandi keringat.” Kami bercanda gurau mengisi waktu istirahat. “Rokok? Ini gratis koq.” “Aku tidak merokok.” “Kamu keberatan dengan cewek yang merokok?” “Tidak. Silahkan saja. Aku lebih suka menjadi rokoknya.” “Jorok akh candaanya.” Ia meninju lenganku. Ia mengambil rokok dari kotaknya. Dan menaruhnya di bibir. Aku mengeluarkan zippo dan menyalakan rokoknya. Asap berhembus dari mulutnya. “Sudah berapa lama merokok?” “Sejak aku terjun dalam dunia seni. Aku hanya merokok ketika suntuk.” “Sayang aja aku lihat kamu ngerokok.” “Makasih udah perhatian ma aku.” “Ngerokok itu bikin ciuman gak enak loh.” “Masa? Kan aku udah pake lip balm.” “Ya tetap aja beda aja rasanya.” “Memang bedanya gimana?” Kupegang kedua pipinya. Kudekatkan mukaku ke mukanya. Rokok ditangannya jatuh ke lantai. Kami saling bertatapan. “Kamu cium bau terbakar? Itulah baunya kalo ciuman.” Ia tetap terpaku. Aku mencium bibirnya dengan mesra sejenak. “Sekarang, bau rokoknya sudah berpindah di mulutku.” Kami menempelkan dahi dan hidung dan menggesekkannya bersamaan. “Kau menciumku sesingkat itu tidak akan memindahkan baunya keseluruhan.” “Kau bohong kan? Kau ingin menciumku lagi kan?” “Tidak. Aku tidak menginginkannya.” “Tapi aku menginginkannya.” Kurekatkan kembali bibirku dengan bibirnya. Kutahan kepalanya dengan tanganku. Setelah itu, aku memegang pinggangnya. Berusaha untuk menaikkan kemejanya namun ditahannya dan ia melepaskan ciumannya. “Jangan sekarang, Grha. Aku masih harus menyelesaikan acara ini.” Aku berhenti dan merapikan kemejanya. “Maafkan aku bertindak lancang denganmu tadi. Seharusnya, aku tidak melakukannya.” Aku memegang kepalaku sendiri. Mengapa aku bisa bertindak sejauh ini. Gita menghampiriku dan menghiburku. “Tidak apa. Aku tahu kamu orang baik. Aku pernah melihat apa yang kau lakukan tadi. You’re such a good man. You deserve a good things.” “Thank for the compliment. Tapi, aku telah kurang ajar sama kamu.” Gita meraba celanaku. Ia mengelusnya perlahan. Aku memegang tangannya. “Not this time, right? Selesein acara kamu dulu. Maybe, we can do it later.” Ia tersenyum. “Kamu emang beda ternyata. Kamu lebih sopan dan gak menuntut.” Gita membalik badannya. Ia nampak sibuk sendiri. Aku penasaran dengan apa yang dilakukannya. “Hey, smile ya.” Katanya sambil membuka kemejanya yang telah dilepas kancingnya. Mataku tidak bisa lepas dari pemandangan itu. Gita memakai bra hitam. Kulit putihnya begitu kontras dengan warna bra. Dada itu nampak penuh. Seperti ingin tumpah. “Gimana bentuk badan aku?” “Ba-bagus koq. Aku menyukainya.” Aku langsung menghindari pemandangan itu. Aku takut tidak dapat mengendalikan diri. Ia mendekatiku yang menunduk menghindari. Didongakkannya kepalaku dan dipeluknya erat. Mukaku mendarat di dadanya yang empuk dan hangat. “SssssHhhhh….” Ia mendesah karena nafasku menghangatkannya. Dadanya tidak terlalu besar, entah kenapa mampu membuatku panas dingin. Kontolku memberontak tak karuan di balik CD. Sungguh nyaman dipeluknya. “Grha. Udahan dulu ya. Bentar lagi aku harus naik panggung.” Katanya sambil mengusap rambutku. “Baiklah, Gita. Aku akan menunggumu.” Ia kembali memakai pakaian dan bersiap naik panggung. Aku keluar dari backstage dan Bhumi menyambangiku. “Hey Boys, what you get?” “Ah, nothing to tell about. Just meet and a little chit chat.” Aku melihat Gita dengan semangat menjadi pembawa acara. Still, I love her. “Hey, do you have some condoms? Need to release something.” Aku mencoba melihat dompetku. “Just one. It’s okay for you?” “Thanks. Keep my back. I’ll do it in my car, ya.” Ia masuk ke dalam mobil bersama pacarnya. Aku duduk di kap mobil dan kuawasi sekitar. “Dia benar – benar gila. Seks di mobil, di event seperti.” Gumamku. Cukup lama ia menghabiskan waktu di dalam mobil. Aku tidak terlalu memperhatikannya, mataku tertuju pada Gita seorang. Bhumi mengagetkanku. Ia menepuk pundakku dengan keras. “Makasih ya udah ngasih kondom. Pusing banget gue.” Aku tersenyum membalasnya. Event pun selesai, aku masih tetap berada di sana. “Gak balik?” “Aku mau ketemu Gita lagi, Bum.” “Nih, kunci apartemen gw di Centerpoint. Have a good nite with her.” “Gimana balikinnya nanti?” “Serahin aja ke pengelola. Terserah mau pake berapa lama. Gue beberapa hari ini di luar kota.” “Makasih ya, Bum.” “Gue cabut ya.” Kami berpisah dan aku menyambangi Gita kembali. Ia telah berganti pakaian. Kaos putih dengan jaket dan celana jins. “Kamu ada acara setelah ini?” “Belum tahu. Sepertinya tidak ada.” “Aku ingin mengajakmu beristirahat. Kamu kelihatan kecapekan.” “Aku laper banget. Pengen makan.” “Mau makan di restoran?” “Males. Pengen makan yang beda.” “Aku masakkin gimana?” “Kami bisa masak?” “Tidak seberapa bisa sih. Tapi, lumayanlah.” “Ya udah kalo gitu. Kamu masakkin makan malem buat aku, terus aku masukkin kamu buat malem ini.” Aku menoleh ke arahnya. “Hahaha…jangan begitu ah. Aku masakkin aja dulu. Aku cari bahan masakan di swalayan dulu ya.” Kami berbelanja bahan masakan di sebuah swalayan. Dengan keranjang belanjaan di tangan kiri, aku menyusuri bagian dalam swalayan. Gita menggamit tanganku dan memeluknya erat menempel ke dadanya. Untung, kami berbelanja di tempat yang sepi. Setelah selesai, aku bersamanya bergegas menuju apartemen Centerpoint. “Disini tempatmu?” “Tidak, kebetulan temanku mempercayakannya untukku. Ia sedang ada urusan.” Setelah parkir, aku memasuki apartement dan segera kupersiapkan masakan. “Kamu istirahat aja, Gita. Aku akan manggil kalo udah selesai.” “Aku mandi dulu kalo gitu.” Sembari aku memasak, Gita membersihkan dirinya. Ia keluar dari kamar mandi. Ia keluar dengan handuk yang menutupi badannya dan rambut yang digelung handuk. “Kayaknya enak nih. Baunya kecium sampe sini.” “Moga aja enak. Kamu gak pake baju. Dingin loh.” “Pengennya diangetin.” “Emangnya sayur?” “Ih..beneran akunya.” Aku mencubit hidungnya gemas. “Nih, aku masakin spaghetti sama tumis sayur hijau.” Aku menghidangkan di piring dan meletakkannya di meja. “Mari makan.” Ucapnya senang. Kami makan dengan lahap serta berbicara ringan mencairkan suasana. Aku sangat senang bisa bersamanya. “Aku tutup gordennya.” Aku menutup gorden. Di luar sedang hujan deras. Seorang pemulung di luar bersama istri dan anaknya berteduh di bawah pohon. Gerobaknya di biarkan kehujanan. “Gita, aku keluar dulu, ya.” “Kemana? Di luar hujan loh.” “Iya, cuma sebentar.” Aku mengambil sisa masakanku. Menaruhnya di tempat makanan. Tak lupa aku membawa beberapa ponco disposable untuk aku berikan. “Aku ingin memberikan makanan ini kepada pemulung di seberang jalan. Sebentar aja.” “Iyah. Aku tunggu.” Aku mengusap – usap rambutnya. Aku turun memakai lift. Dari jendela, Gita melihatku kehujanan saat menyeberang jalan dan memberikan makanan. “Kamu bikin aku takjub lagi, Grha.” Gumam Gita. Grha kembali ke apartement. Masih memakai handuk, Gita memeluk tubuh basahku. “Kenapa kamu, Gita? Badanku masih basah.” “Biarin..” Ia memelukku lebih erat. “Tiduran yuk.” “Tapi..” Ia membantuku melepas pakaian dan celana hingga menyisakan boxer yang kupakai. Kami berbaring di tempat tidur. Gita membelai wajah dan badanku. “Baru kali ini aku bertemu seseorang sepertimu. Padahal, aku baru bertemu denganmu tadi. Tapi, aku merasa nyaman di dekat kamu.” Aku mencium keningnya lembut. Begitu hangat hingga aku merasakan tentram. Ia duduk di hadapan boxerku. Ia menelusupkan tangannya melalui sela boxer yang longgar. Digenggamnya kontolku dan dikocoknya perlahan. “Eehhhhh…..enak Gita.” Ia melepaskan handuk yang melingkar di tubuhnya. Sepasang bongkah daging menggantung indah di hadapanku. Putingnya berwarna coklat muda dengan aerola yang minim. Tubuhnya bersih bagai pualam. “Kamu liatin akunya begitu banget.” “Aku gak percaya aja kamu cantik banget.” “Masa sih?” Gita gemas dan mengocok kontolku. Dilucutinya boxer dan aku telanjang bulat di hadapannya. Aku menutup mukaku karena malu. “Kamu nggemesin banget sih.” Ia membuka mukaku dan menciumnya berulang – ulang. “Kamu gak mau liatin aku?” “Mau donk, Gita.” Gita kembali mengocokku dengan nikmat. Aku meremas kasur menahan ejakulasi yang sebentar lagi sampai. “Gita…..” Kataku lemas. Kontolku berkedut kencang, pejuhku muncrat menodai muka dan leher Gita. Gita melongo seakan tidak percaya. “Pejuh kamu banyak banget sih.” Kontolku lemas tidak berdaya. Aku bangkit dan berusaha membersihkan pejuhku di tubuh Gita. “Jangan dibersihin, Grha. Aku pengen kebaikan kamu di tubuh aku.” “Bukan ini, Gita.” Aku membersihkan pejuhku dari Gita. Kuciumi dan kumainkan dadanya. “Oooooccchhhhh………uuuuhhhh……..yeeeeeaaahhhh……” Aku memainkan puting kirinya dan menghisapnya dengan lembut. Ia menikmatinya. Puting kanannya pun tidak luput dari hisapanku dan remas – remasan di dadanya. Kutinggalkan bekas cupang di dadanya. “Grha……trus…….ampun…….enak…….ssshhhhhhh………ooooccchhhh………aaaahhhhh….” Ia sendiri masih memakai CD putih yang tipis. “Boleh aku….” Gita mengangguk pelan. Kulepas CD nya. Memeknya bersih dari bulu. Putih, halus dan harum. Kumainkan lidahku disana hingga basah. Akupun memasukkan jari ku. “Jangan, Grha. Aku masih belum siap.” Aku sedikit kecewa. Tapi, tidak masalah. “Kamu pernah anal? Kamu masukkin di pantat aku aja.” Ia menungging dan lubang pantatnya terlihat menarik. Aku mencoba membasahi dan merangsangnya. “Uuccchhh…..situ…..terus…” Aku mencoba memasukkan kontolku di pantat Gita. “Seret banget, Gita.” Gita tidak menanggapi. Ia mencari bantal dan menggigitnya dengan keras. Aku tetap meneruskannya hingga seluruhnya masuk. Kudiamkan sejenak di dalamnya. Aku mencoba memainkannya. Namun, Gita mengerang kesakitan. Aku merasakan ada sesuatu di dalamnya. Kucabut perlahan dan kontolku berlumuran kotorannya. Ia pun terpaksa mengeluarkan kotorannya karena sakit. Ia terlihat lelah. “Gita, kamu…” “Iya, aku tidak siap. Perutku sakit hingga aku begini.” Kotorannya masih menetes keluar dari pantatnya. Aku membersihkannya dengan tisu basah dan menggendongnya ke kamar mandi. Gita duduk di kloset dan buang air. Aku membereskan tempat tidur dan menaruhnya di tempat laundry gedung. Gita keluar dengan wajah sendu. Ia terlihat lelah. Aku bergantian membersihkan diri. Aku melihatnya tengah menghisap rokok. “Masih merokok aja?” “Mulutku asam.” “Makan permen donk.” “Tidak mempan.” “Lainnya?” “Sama saja.” “Kamu pengen gak ngerokok lagi.” “Pengen sih. Tapi susah.” “Mau nyoba gak pake caraku?” “Gimana? Aku udah capek.” Aku mencabut rokoknya. Ia kesal dan kucium bibirnya. “Udah aku pindahin lagi baunya ke mulut aku.” “Cium lagi dunk.” “Gak kalo kamu masih ngerokok.” “Tuh kan.” Ia merajuk manja. Kubelai rambut dan kucium pipinya. “Jangan ngambek dunk sayang.” “Abisnya kamu sih. Kamu…” Aku membuka handuk yang menutupi kontolku di depan mukanya. Kontolku kembali menegang. “Cepet amat tegangnya.” Ia menggenggam kontolku dan mulai mengulum kontolku. Kocokan lembut dengan lidahnya bermain dengan nikmat. Kupegangi kepalanya agar tidak kemana – mana. Tidak butuh waktu lama, aku kembali menumpahkan pejuhku di dalam mulutnya. “Uhuk…uhuk..uhuk….uhuk..uhuk…Jahat kamunya, pejuh kamu bikin aku keselek.” “Maaf ya Gita, aku gak ada maksud.” “Kamu berusaha bikin aku gak ngerokok lagi. Gak ada yang salah dengan kamu.” “Iya, aku gak mau kamu ngerokok lagi.” “Kamu bantuin aku, ya.” “Tentu. Aku akan bantuin kamu.” “Makasih, sayang.” “Kamu istirahat. Aku pakein selimut.” “Kamu masuk temenin aku.” Kami beristirahat dalam satu selimut dan tempat tidur. Malam itu, kami tidak melakukan penetrasi sama sekali. Aku tidak ingin menyakitinya. Hari 1 Keesokan paginya, aku menyiapkan makanan untuk Gita. “Met pagi, Gita. Aku menyiapkan roti tawar isi selai stroberi dan susu hangat.” “Pagi, udah bangun kamunya?” “Udah koq. Sarapan dulu gih.” “Udah sarapan kamunya?” “Aku udah makan tadi.” Aku duduk disampingnya. Ia sarapan di atas tempat tidur. Dengan lahap, ia mengisi perut kosongnya. “Berasa jadi spesial dibikinin sarapan ma kamu.” “Hehehe..***k apa – apa koq. Kamu juga spesial buat aku.” “Maksudnya?” “Ah, tidak lupain aja. Oiya, kamu mau bantuin aku berhenti ngerokok. Gimana caranya?” “Selama 3 hari kedepan, kamu ke sauna. Selama 3 hari jangan ngerokok. Dan olahraga.” “Aku mau kamu nemenin kamu. Kalo aku gak bisa nahan, aku ngerokok punya kamu. Gimana?” “Katanya kemaren jorok punya aku.” “Punya kamu enak. Ada manis – manisnya. Boleh lagi pagi ini?” “Emang udah gak betah?” “Pagi – pagi biasanya aku ngerokok.” Aku berdiri dan melepaskan boxer. “Hihihi…lucu banget kalo belum tegang. Lemes gitu.” Gita langsung mengulumnya dalam keadaan lemas. Sentuhan halus di titik kontolku membuatnya tegang perlahan. Ia mulai memvariasikan kulumannya. “Git…..aku…..aku…..keeellllluuuuaaarrrrrr………” Ia menjulurkan lidahnya dan pejuh dari kontolku berhamburan di dalam mulutnya. Ia mengocoknya sampai pejuhku tidak bersisa. Ia menelannya dan melemparkan senyum kepadaku. “Udah lengkap sarapanku. Ayo ke sauna sekarang. Kebetulan, ada temanku memiliki tempat sauna. Nanti, aku bilang ke temanku aku akan kesana selama 3 hari dan menyewanya secara pribadi.” Aku meghubungi Bhumi untuk menyewa tempatnya selama 4 hari ke depan. “Halo, Bhumi. Ini aku, Grha.” “Yeah, Whazzup.” “Bhumi, aku sewa tempatmu selama 4 hari ke depan. Bisa?” “Untuk apa?” “Ada sesuatu hal.” “Owh, my men has finally got the shit. Damn, you’re fucking lucky number 7. Come on, tell me what you’re do with her?” “Tidak, dia hanya ingin bersamaku selama 3 hari ke depan.” “It’s a long day full of happiness. Need a dozens of caps?” “Aku hanya membantunya dalam mengatasi sesuatu.” “Okay. Okay…I’m not rushing in. Use as you please. Tell me if you leave.” “How much I pay?” “No, my fuelman. It’s free of charge okay.” “Thank you really much. Can I have a time with the girl?” “Be careful, don’t jerk off.” “Hahaha…okay bye..” “Bye too…..” Bersambung di bawaha
Lanjutan Cerita Diatas Aku berhasil mendapatkan izin memakai apartemennya. Kami berangkat menuju tempat sauna milik teman Gita. Sepanjang perjalanan, Gita nampak riang. “Kamu kayaknya seneng banget, Gita.” “Karena ada kamu mungkin. Jadinya aku seneng banget.” “Aku juga seneng bisa deket ma kamu.” “Deket? Kita intim tau.” “Iya, Gita sayang.” Ia menyandarkan kepalanya di pundakku. Memberikan rasa nyaman kepada dirinya dan diriku juga. “Oiya, Grha. Saunanya berapa lama?” “1 jam cukup mungkin.” Gita melihat ponselnya. “Bisa sih, tapi setelah itu, aku ada pemotretan sampai malam. Gimana?” “Ya gak apa – apa. Kamu kan seorang public figure.” “Temenin aku pemotretan donk, ya?” “Kalo orang – orang curiga?” “Ah gampang itu. Pokoknya aku mau ditemenin. Kalo gak, aku ngambek.” “Iya iya, Gita.” Kataku membelai rambutnya. “Yeeeyyy….asyiiikkk.” Kami sampai di tempat sauna. Setelah menyelesaikan administrasi, kami mengganti pakaian dengan handuk. Kulihat dirinya seperti kemarin malam. “Emang boleh dalam satu ruangan?” “Boleh donk. Kan aku sudah bilang sama temanku.” Katanya sambil menggamitku seperti pacarnya sendiri. Kami masuk di ruangan yang disewa. Ruangan itu nampak sederhana dengan pemanas ruangan yang berada di tengah ruangan. Seluruh ruangan dibalut dengan material kayu berwarna natural. Kami duduk berdua di ruangan tersebut. Tidak lama, badan kami berkeringat karena suhu ruangan yang memanas. “Boleh bertanya sesuatu, Gita?” “Tanya aja.” “Kamu udah berapa kali pacaran?” “Kayak infotainment aja kamunya.” “Ya, maaf. Gak perlu dijawab juga.” “Sudah enam kali aku pacaran, dan enam kali juga aku putus. Tapi, sekarang itu gak penting karena ada kamu?” “Maksudnya?” “Ih..jadi cowok koq gak perhatian banget. Aku tuh suka sama kamu.” “Aku cuma cowok biasa, Gita. Gak ada yang bisa dibanggain. Memang kerjaanku di bidang keuangan sebuah perusahaan. Tetapi, hal itu bukan menjadi nilai tambah. Apalagi kamu, seorang artis terkenal. Pasti lebih banyak orang yang pantas untuk kamu.” “Ada yang bisa dibanggain dari kamu. Kebaikan hati kamu dan burung kamu. Apalagi, burung kamu itu lumayan banget buat aku. Eh, bukan lumayan lagi tapi ampun banget. Aku butuh banget burung kamu.” Ia dengan cepat mendekat dan membuka handuk yang kupakai. “Hehehehe….masih tidur ya.” “Panas sih. Makanya lemes.” “Kira – kira, keringetnya harus dikeluarin sebanyak apa?” “Kurang tahu sih. Mungkin lebih banyak, lebih baik.” “Kamu duduk disini. Aku punya sesuatu buat kamu.” Ia berdiri di hadapanku. “Mau liat aku nari erotis gak?” “Boleh kalo bisa.” “Bisa, tapi kamu gak boleh pake handuk. Aku pengen liat burung kamu jadi tegang.” Ia mencium pipiku dan mulai menari. Meski tanpa musik, ia menggerakkan tubuhnya yang terbalut handuk. Ia menatapku dengan tatapan nakal dan menggoda. Gestur tubuhnya menambah pesonanya menari. Perlahan ia menanggalkan handuknya dan telanjang. Meski aku sudah pernah melihatnya telanjang, namun hal itu tetap menggodaku. “Burungnya udah bangun.” Bisiknya kepadaku sambil mencium telingaku. Ia memainkan dadanya yang cukup berisi. Aku menelan ludahku sendiri melihatnya. Ia memilin dan memuntir puting payudara. “Uuuccchhh…..aaacchhh…..eehehhmmmmm…..mmmhhhhh…” Tangannya menjelajah memeknya yang bersih. Ia memasukkan jarinya secara brutal hingga ia duduk disampingku menunjukkan memeknya di dekatku. “Oooooccchhhh…….eemmmmhhh…..yyyeeeaaahhhh…….uuuuuuhhhhhh…….saaaahhhhhh………sssssshhhhhh…” Kontolku menegang keras. Ia tetap memainkan memeknya sampai ia menjerit kenikmatan. “Aaaaaaakkkhhhhhh…….” Cairan nikmat itu menyemprot keras mukaku hingga mataku pedih. Gita panik. “Grha, maafin aku.” “Gak apa – apa. Aku malah bahagia kamu semprot.” Ia tersenyum kepadaku. Ia menunggingkan pantatnya. “Giliran kamu sekarang semprotin aku.” Kurangsang lubang pantatnya agar menerima kontolku. Setelah cukup, aku memasukkannya. Tidak seperti yang pertama kali, kali ini ia lebih menerima kontolku. “Anget……burung….kamu.” Ia menggigit bibir bawahnya menahan kenikmatan tiada terkira. Aku melakukannya perlahan – lahan. “Kalo…gini….makin….banyak…keringetnya….” Kata Gita. Aku meremas payudaranya yang menggantung bebas dengan kedua tanganku. Tidak kubiarkan itu sia – sia. Pantat Gita semakin menekan kontolku yang tetap beringas di dalamnya. Aku mempercepat gerakanku. Gita pun semakin menekan kontolku. “Git, aku udah gak tahan.” “Keluarin aja. Aku jepit burung kamu nih….eeennnggghhh.” “Aaaaakkkhhh……..” Seketika gerakanku terhenti. Gita menekan kontolku kencang hingga aku memuntahkan pejuhku di dalamnya. “Gita…..kamu……kuat…..banget…..aku….sampe….***k…..kuat.” “Ah ah ah ah ah ah……punya kamu juga bikin aku melayang….ah ah ah ah.” Aku menunggu hingga kontol sedia kala dan keluar dengan sendirinya. Gita masih sedikit menungging. Seperti tertembak tepat di pantatnya, ia tidak bergerak. Timer menunjukkan 5 menit lagi. Kami beristirahat memulihkan diri. Kami keluar dari sauna dengan perasaan nyaman dan senang. “Aku seneng banget tadi. Keluar keringetnya banyak. Tubuh aku berasa enteng.” “Udah kerasa ‘kan? Apalagi kalo ditambahin olah raganya.” “Olahraganya itu aja yang kaya tadi. Keluar keringet banyak juga.” “Emang tadi itu olahraga ya? Koq aku gak capek ya?” “Bilang aja kamu pengen lagi.” Kami saling menertawakan diri. Aku mengantarnya menuju sebuah kawasan di Mega Kuningan. Pemotretannya berkonsep Office Beauty. Aku memosisikan diriku sebagai teman yang mengantarnya. Aku menghabiskan waktuku di ruang tunggu karyawan dan supir. Hal yang menyenangkan ketika aku bisa mengenal mereka secara langsung. Tanpa ada drama palsu dan kalangan lebih terbuka. Aku sendiri tidak mendapat akses untuk melihat Gita menjalani pemotretan. Tak aku sangka, waktu menunjukkan pukul 7 malam. Ditemani kopi indokafe, aku sabar menunggu di mobil karena kantin telah tutup tadi. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku dari Gita “Pulang yuk. Udah selesai akunya.” Aku keluar dari parkiran dan menjemputnya. “Maaf ya nunggunya lama tadi.” Kata Gita masuk ke dalam mobil. “Gak apa – apa. Habis ini ada acara ap?” “Pulang aja. Aku capek. Mana gak ada kamu lagi tadi nemenin aku photosession.” “Aku kan gak boleh masuk.” Jalanan macet menjadi rutinitas kehidupan di ibukota. “Macet banget. Mau jalan aja begini.” Kesal Gita. “Kalo kesel, wajah kamu cantik.” “Ngegombal aja nih kamunya.” “Daripada gak jelas juga. Asli, kamu itu cantik.” “Oiya, nih buat kamu.” Aku menyerahkan setangkai bunga mawar kepada Gita. Gita mencium aroma bunga itu. “Tadi, ada yang jualan bunga. Penjualnya anak kecil. Makanya, aku beli.” “Makasih, ya Grha sayang.” “Kamu mau pulang ke rumah?” “Aku pulang sama kamu. Aku pengen berduaan sama kamu. Masakin lagi donk.” “Masak? Apa ya? Mau sweet mashed potato?” “Kayaknya enak tuh. Nanti aku bantu masak boleh?” “Boleh aja koq.” “Kata orang – orang produksi, aku keliatan lebih fresh.” “Bagus donk kalo gitu.” “Muka aku juga lebih putih.” “Iya, kamu lebih putih sekarang.” “Asem banget nih mulut.” “Inget jangan ngerokok.” “Mau ngerokokin kamu aja.” “Gita, aku lagi nyetir.” Ia mengacuhkanku. Ia melepas kancing dan retsleting celana. “Gak bilang sih kamu juga udah tegang duluan?” “AC nya dingin. Entah kenapa kalo dingin malah begini.” Tangan halusnya mengocok kontolku pelan. Tidak ingin berlama – lama, ia mengikat rambut dan mulai mengulum kontolku. Deg – degan saat menyetir dan nikmatnya dikulum membuat serba salah. Gita merangsang di titik lemahku berulang – ulang. Aku mengerang pelan. Kenikmatan yang tidak dapat aku tahan. Sesekali, kudorong kepalanya agar kontolku bisa lebih dalam. Perasaan itu tiba, aliran darahku mengalir cepat, nafasku terengah – engah. Gita mengetahui sebentar lagi aku akan berejakulasi. “Git, please…jangan kenceng – kenceng…aku gak kuat.” Ia mengulum kepala kontolku dan menghisapnya bagai pompa. Tangannya mengocok batangku dan mengurut uratku yang tergurat jelas. Aku tidak dapat menahannya lagi. Dengan lembut dan tersiksa, aku memuntahkan pejuhku di dalam mulutnya. Ia menelan semuanya dan tetap mengocoknya hingga tidak bersisa. Ia memainkan bibirnya bagai memakan sesuatu yang enak. “Ini yang bikin aku makin fresh dan muka aku putih. Ada nutrisi alami yang siap dikonsumsi.” “Gimana dengan celanaku ini.” “Hihihi….lemes burungnya.” Ia bercanda dengan kontolku. Disentuhnya geli – geli. “Gita….” “Iya iya aku masukkin lagi.” Ia mengecup kontolku mesra. “Kamu istirahat dulu yah. Nanti bangun lagi masuk sangkar.” Celanaku sudah dirapikannya. Gita menguap kelelahan hingga tertidur. Aku mengambil jaketnya di kursi belakang. Menutup badannya setelah aku menyentuh dadanya yang empuk untuk beberapa saat. Aku sampai di apartemen. Gita masih terlelap. Aku mengangkat badannya ke apartemen. Kubaringkan tubuh lelahnya di tempat tidur. Like a fairy, she’s too cute to hurt by men. Aku memasakkan makanan untuknya. Aku menyiapkan meja makan ketika ia menghampiriku. Wajahnya yang kusut, rambutnya yang hanya dirapikan sedikit. “Kamu udah masak?” Katanya setengah sadar dengan mengucek matanya mengembalikan kesadaran. Dia begitu alami, aku ingin mencumbunya dalam keadaannya seperti ini. “Udah selesai. Kamu pasti laper?” “Hehehe….iyah. Perut aku bunyi.” “Yaudah kita makan yuk.” Kami berdua makan malam. Singkat cerita, kami berdua menonton DVD. “Nonton yang lain donk. Bosen nih.” “Nonton apa?” “Blue Film mungkin bagus.” Aku mencari rak kaset dan aku menemukan sekumpulan koleksi Blue Film milik Bhumi. “Ada nih, judulnya My First Time bikinan Jepang.” “Yaudah di puter aja.” Aku memutar film tersebut. Film itu menceritakan seorang perempuan baik – baik yang kemudian melepas keperawanannya kepada teman laki – lakinya. Belum selesai film terseburt, Gita beranjak dari sofa dan menangis di depan jendela. Cuaca gerimis di luar melanda semu hatinya. “Kamu kenapa, Gita? Ada sesuatu.” “Gak apa – apa, koq.” Aku memalingkan mukanya kepadaku. Kami berciuman hangat. “Merasa baikan? Kamu ingin cerita sesuatu?” “Kemarin, aku bilang padamu. Aku belum siap ‘kan. Aku trauma. Aku takut penolakan dari kamu. ” “Penolakan? Aku tidak menolakmu. Aku masih bersamamu sekarang.” “Apa kamu masih tidak menolakku ketika mendengar hal ini.” “Hal apa, Gita?” “Aku tidak mungkin mengalami seperti di film tadi. Pacarku terdahulu, dia sudah mengambilnya dariku. Semua terjadi begitu saja. Hingga sampai sekarang, aku selalu takut mengecewakan terhadap laki – laki dan dikecewakan.” “Gita, yang terjadi, biarlah terjadi. Kamu pasti bertemu laki – laki yang pantas buat kamu. Dan, aku akan selalu mendukungmu. Terkadang, kehidupan tidak adil kepada kita. Kehidupan terus berjalan tanpa memperdulikan keadaan kita.” Gita memelukku erat. Ia sesenggukan menangis di badanku. “Gita, kamu jalani hidup kamu seperti kamu biasa menjalaninya. Aku akan tetap membantumu. Meski, ada sebuah tembok tebal menghalangi kita.” “Andai keyakinan itu sebuah hal yang umum.” “Kamu tidak boleh bilang seperti itu. Itu jadi sebuah rahasia di kehidupan. Kita hanya manusia yang memiliki daya dan usaha yang terbatas.” “Iya, aku minta maaf.” Aku memanjakannya sebentar. “Kamu tidur ya, Git.” “Terus kita….” “Saat ini, kamu istirahat yang tenang. Besok kita harus ke sauna lagi dan jadwal manggung kamu di Cafe.” Aku menggendong tubuh Gita ke tempat tidur. Menyelimutinya tanpa terkecuali. Aku merebahkan badanku di sofa di dekat tempat tidur. “Selamat tidur, Gita.” “Selamat tidur, Grha.” Kami berdua terlelap tidur. Waktu menunjukkan pukul 02.00 WIB. Gita terbangun dari tempat tidurnya. Dengan Celana pendek dan kaos tanpa lengan, ia mendekatkan diri ke jendela membiarkan cahaya temaram dari luar menyinari tubuhnya. Setelah puas, ia mendekati tubuhku yang masih berada dalam selimut. Ia menarik selimutku dan membaringkan badannya di dekatku. Sofa itu penuh karena 2 insan manusia tengah berbaring diatasnya. Aku tersadar ketika ada yang hawa lain yang berada disampingku. “Gita.” “Aku kedinginan di tempat tidur. Aku pengen di sofa aja bareng kamu.” “Tapi, kan….” “Aku maksa disini. Aku mau tidur lagi.” Aku membiarkannya tidur di pelukanku. “Pengen nyusu gak? Nih.” Gita menaikkan kaosnya sehingga terlihat payudaranya yang indah. Bibirku langsung menempel dan melakukannya di payudaranya. Sebelum menaikkan kaosnya, ia menurunkan celanaku dan menjepit kontolku dengan pahanya yang mulus. Mungkin ia masih belum siap sepenuhnya, pikirku. Hari 2 Sinar pagi menembus jendela. Badanku masih terbaring malas di sofa. Namun, aku tidak menemukan Gita. Aroma kopi tercium dari dapur. “Met pagi, Grha. Kamu udah bangun ternyata.” Ia menyodorkan secangkir kopi hangat. “Diminum donk.” “Iya. Makasih udah siapin kopi pagi ini.” “Aku belum sempet bikin roti untuk kamu.” “Gak apa – apa. Kamu mau aku siapin roti.” “Aku udah kenyang.” “Kamu makan apa udah kenyang?” Gita memainkan lidah di bibirnya tanpa memberitahuku. “Tunggu, kamu….” Aku melihat kembali celanaku dan kontolku. Ada sebuah bekas pejuh yang masih tersisa di bagian bawah kepala kontol. “Pagi – pagi punya kamu yang manis di tenggorokan aku.” “Pantesan, aku ngerasa capek banget waktu bangun.” “Dihabisin kopinya. Abis itu siap – siap ke sauna lagi.” “Kamu semangat banget untuk berhenti ngerokok.” “Abisnya ada rokok yang lebih enak sih. Bisa ngeluarin yang manis – manis.” Sauna hari kedua, masih tempat yang sama. Namun, kali ini ada sebuah matras. Aku tidak tahu mengapa ada matras di dalam ruangan sauna dan aku tidak mau ambil pusing. Seperti kemarin, kami menghabiskan waktu dengan bercanda dan membicarakan hal yang biasa terjadi. Dan, aku melihat ada yang berbeda dari Gita. semenjak ia pergi ke kamar mandi, ia tampak menahan sesuatu. Mukanya teramat merah. Tidak seperti kemarin saat ia di sauna. “Mukamu merah, Git. Kepanasan kamunya? Aku kecilin suhu nya.” “Bukan koq. Aku tidak kepanasan. Aku baik – baik aja.” Ia memalingkan tubuhnya. Aku mencium lehernya dari belakang. “Aaahhhh……..ssssshhhhhh….” Ia terangsang dengan cepat. Nafasnya terengah – engah menikmati kenikmatan yang mengalir di tubuhnya. Kuturunkan handuknya hingga sepinggang, putingnya mengacung tegak liar. Kumainkan payudaranya dari belakang sambil menciumi lehernya. Ia menjambak rambutku dengan tangannya. Aku membalikkan badannya dan menyusu payudaranya. Keringatnya yang bercucuran menambah semangatku menyusu payudaranya. “Ssshhhh……oooooccccchhhh………mmmmmmmhhhhhhh………….aaaaaaaccchhhhhh……uuuuccccchhhhh…….” Puas aku bermain dengan payudaranya, aku mencium ganas bibir seksinya. Lidah kami saling beradu bertukar liur di dalam mulut sampai mengalir keluar lewat sela bibir. “Sepertinya harus di matras kalo begini.” Aku berdiri diatas matras. Tanpa perintah, Gita melepas handukku di pinggang. Kontolku menimpa wajahnya yang terlalu dekat denganku. “Aaawwwww……aku kejatuhan punya kamu.” Ia mengurut dan memberinya jilatan – jilatan kecil di syaraf sensitif kontolku. Zakarku digenggam dan di remasnya hingga kencang. Ia membalurkan ludahnya di kontolku membuatnya mengkilat dan menghisapnya perlahan. Kepalanya maju mundur menelan kontolku. Tubuhnya ambruk, ia memegangi bagian kemaluannya. Sontak, kusingkirkan handuknya dan sebuah benda asing yang bergetar berada di dalam memeknya. Bentuknya seperti kapsul dengan tali yang menjulur. “Dari tadi kamu pake vibrator?” Ia mengangguk pelan. Ia lemas untuk bicara. Cairan bening mengalir dari memeknya. Aku membersihkan memeknya dengan lidahku sekaligus memainkan lidahku disana. Terasa asin karena telah bercampur keringat. Namun, tetap nikmat. “Aaaaaccchhh……terus……jilat…….ooooccchhhhh…….yyyeeeeeaaaaa………hhhhhhmmmmmm……….uuuuuuucccchhhh…..” Ia kembali mengejang. Orgasme hinggap di tubuhnya. Ia membanjiri mukaku dengan cairan yang kubersihkan tadi. “Kalo begini, gak bersih – bersih dunk.” “Abis kamunya bersihinnya begitu.” “Sayang kalo di lap. Enak sih.” Ia tersipu malu. Ia mengangkat kedua pahanya. Memeknya terlihat jelas di mataku. “Please, masukkin punya kamu. Pake kondom yah.” Katanya menggodaku. Tanpa basa – basi, aku mendorong kontolku ke memeknya. Meski tidak perawan lagi, memeknya masih terasa sempit. Ia mendongak seperti dihujam sesuatu yang sangat mengejutkan dirinya. “Aku bahagia banget. Punya kamu akhirnya bisa nyatu ma punya aku.” “Belum, Git. Masih ada kondom yang membatasi kita.” Aku mulai memacu badanku. Ia memekik pelan dengan menutup mulutnya. “Git, sempit banget sih.” Aku memacunya dalam posisi misionaris. Kucium tubuhnya yang berkeringat. Kedua tangannya aku rebahkan disamping kepalanya. Kini, aku menatap wajahnya. Sebuah wajah cantik alami tanpa dosa mendesah setiap kali aku menghujam memeknya. “Terusin, yang kenceng, aku pengen dipuasin.” Aku menambah kekuatanku untuk memacunya. Wajahnya semakin menunjukkan rasa sakit yang begitu nikmat. Aku berhenti dan memosisikan badannya ke doggie. Aku bertumpu pada kakiku dan tanganku di pantatnya. “Ooochhhh….uuuhhh…..aaahhh……ssssshhhh…….oooccchhh…….ooooooccchhhh…” Posisi membuatku semakin semangat untuk memasukkan kontolku lebih dalam. “Gita, aku mau keluar. Aku gak tahan lagi. Pantat kamu bikin aku kerangsang banget.” “Keluarin di luar pantat aku.” Aku mencabut kondomku. Kontolku berkedut menyemburkan pejuh ke pantat dan punggungnya. Sebagian mengenai rambutnya. Gita terdiam. Diolesnya pejuhku hingga merata dan membiarkannya sebentar. Aku menyodorkan kontolku di mulutnya dan dibersihkan olehnya. “Punya kamu gak kurang – kurang, nambah banyak dan manis.” “Masih mau ngerokok yang biasa?” “Sekarang sih, enggak. Belum tahu nantinya.” “Semoga kamu bisa berhenti.” “Iya. Aku bakal berhenti kalo begini caranya.” Kami membersihkan diri dan segera menuju sebuah mall di kawasan Jakarta Barat. “Hari ini, jadwal kamu apa?” “Aku ada show di cafe di dalam Mall. Di Fx Sudirman.” “Seharian?” “Iya, pagi sampe sore aku jadi MC. Malamnya, aku nyanyi.” “Kamu bisa nyanyi?” “Bisa. Baca donk profil aku di internet.” “Ngapain baca di internet. Orangnya aja lagi di deket aku.” “Ah, kamu ini bisa banget sih.” Ia menyandarkan lagi kepalanya di bahuku. Seperti menjadi kebiasaan, dia selalu seperti ini ketika di dalam mobil. Kami tiba di mall. Gita memakai kacamata agar tidak terlalu mencolok. Sementara, aku berjalan agak jauh darinya. Kami saling berkirim pesan melalui ponsel. “Jauh banget jalannya. Deketan donk.” “Emang berasa jauh?” “Iya. Berasa jauh.” “Aku deketan nih.” “Pengen jalannya bareng sama kamu 🙁 .” “Jangan, infotainment jahat loh.” “Tapi nanti abis ini. Kita berduaan lagi kan? Kangen ngerokok yang manis manis.” “Tadi bukannya udah ngerokok 2x?” “Belum. Kan yang terakhir di tumpahin di pantat. Yang aku isep cuma sedikit. Kurang donk.” “Siapa yang nyuruh numpahin disitu?” “Iya deh maaf. Gak tahu bakalan begini. Jangan jauh – jauh nanti. Tungguin aku pokoknya.” “Iya. Aku nungguin kamu koq.” Akhirnya kami berpisah. Aku izin kepadanya untuk mencari udara segar. Aku sendiri agak malas untuk jalan – jalan di Mall. Aku keluar gedung dan mencari spot yang ramai. Sebuah pesan singkat masuk di ponselku dari Sibad. “Kamu lagi dimana? Kangen nih kontol kamu. Kalo kamu di jakarta, aku ke tempat kamu.” “Aku lagi di fx sudirman. Aku nemenin orang kantor meeting.” “Jadi sibuk yah? Padahal udah pengen banget akunya 🙁 .” “Nanti hari rabu kayaknya aku ada waktu. Nanti aku kabarin lagi.” “Iya. Met kerja ya.” Untuk sekarang, aku harus memusatkan perhatianku kepada Gita. Jika urusan Gita telah selesai. Aku akan menemui Sibad. Tidak aku temukan spot ramai. Aku kembali masuk ke dalam Mall dan memberi beberapa makanan dan minuman ringan. Kubawa menuju mobil dan aku mengistirahatkan diriku. Perlahan, tubuhku beristirahat dan pandangan tenggelam kelam. Waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB. Gita meninggalkan pesan untukku melalui pesan singkat. “Aku diajak ke Woof’s Lounge and Bar di Kemang. Jemput aku segera.” Ia mengirim pesan pukul 18.30 WIB. Aku bergegas menuju tempat tersebut. Perasaan tidak nyaman terus menggelayutiku. Aku takut sesuatu terjadi kepadanya. Aku memarkirkan mobil di tempat yang tersedia. Aku melihat mobil yang pernah kulihat sebelumnya. Aku mengenali mobil itu milik Bhumi. Aku masuk ke dalam. Musik techno electro menggema di telingaku dengan keras. Aku memesan minuman dan mengamati sekitar. Sudah kukirim pesan kepada Gita. Ia tidak membalasnya. Aku meneleponnya dan tidak mendapat hasil. “Wait, is that you, Grha?” “Bhumi, come here.” “What’re you doing here?” “I’m going to pick up the girl.” “The girl you mean is “that” girl?” “Yeah. I think something ’bout to happen. And this is shit.” “I’ll back you up. I’ve seen your girl passed by and now in second floor.” “Thanks, Bhumi. I hope you ready cuz this ain’t gonna be easy.” Aku bersama Bhumi naik ke lantai 2. Bhumi mengingat dimana Gita dibawa dan kami menerobos masuk ke dalam ruangannya. Didalamnya terdapat 3 laki – laki dan 2 perempuan termasuk Gita. Gita menghisap rokok dan sejumlah alat hisap obat – obatan tergeletak di meja. “Gita, apa – apaan kamu merokok lagi.” Aku menarik Gita. Namun, dihalangi oleh salah seorang dari mereka. “Tenang, Kami membawanya kesini karena dia yang mau. Jadi apa kami salah?” Aku melihat Gita yang mabuk karena alkohol dan kucium aroma narkoba. “Brengsek kalian ngedrugs disini.” “Bro, Gita itu mau kesini karena keinginan dia.” “Dia memberitahuku aku harus menjemputnya segera dan sekarang waktunya.” “Lo siapa mau ngajak Gita pulang? Lo satpamnya? Nih gue kasih duit pulang gih sono biar Gita have fun ma kita.” “Gue gak terima duit lo. Gue mau jemput kita.” “Biarin kita yang anter Gita pulang, banyak bacot lo.” Salah seorang dari mereka menghantamkan botol ke arahku. Kutangkis dan aku meninju mukanya. Temannya tidak ambil diam dan melayangkan pukulan ke badanku. Sementara, Bhumi memukulkan sebuah botol ke kepala lainnya. Aku melumpuhkan mereka dengan cara yang sama. Tinggal teman wanita mereka yang masih tersadar. “Gue gak akan nyakitin lo. Buat kalian yang masih ngajak Gita ngerokok, minum apalagi ngedrugs, gw abisin lo satu satu.” Kubawa Gita yang mabuk keluar ruangan dan aku menidurkan tubuhnya di kursi belakang mobil. “Thanks my bro. You help me in.” “No problem. You relieve her after this. I’m outta this. Don’t get caught by police.” “Yeah, I’ll do.” “Better not showing up for a while. Use my place to get you safe.” Kami berpisah dan meninggalkan tempat itu. Aku mengendarai mobil menuju tempat semula. Aku membawa Gita menuju kamar mandi. Dengan masih berpakaian, aku menyiramnya dengan air dingin dari shower. Ia gelagapan tersadar dari mabuknya. “Gita, mengapa kamu dekati rokok dan drugs?” Tanyaku sambil menyiramnya. “Stop….stop….jangan disiram terus….” “Kamu juga mabuk – mabukan disana. Untuk apa?” Ia melindungi kepalanya dengan tangan, walaupun tidak memberikan perlindungan dari air dingin yang terus membasahinya. “Dingin, Grha……dingin….” Aku mematikan shower. Ia langsung memeluk kakiku dan memohon ampun. “Ampun, Grha…ampuni aku. Aku tidak bermaksud melakukannya.” “Aku sudah menemanimu 2 hari ini agar kamu berhenti merokok. Tetapi, apa yang aku lihat tadi?” Kataku membentaknya. “Mereka yang mengajakku, Grha.” “Alasan! Kamu udah tahu kan pantangannya.” “Iya, aku minta maaf.” “Maaf maaf. Semua orang juga bisa minta maaf. Percuma aku berbuat begini ke kamu. Gak ada gunanya.” “Aku salah, Grha. Aku nyesel banget.” “Lepasin kaki aku. Lepas!” “Gak mau. Aku gak akan lepasin.” Ia bersikukuh tetap memeluk kakiku. Aku menendangkan kakiku. Ia terlepas dan tersandar di dinding kamar mandi. Ia terisak menangis menyesali perbuatannya. Aku kembali menyalakan shower dan mengguyurnya. Kali ini, ia tidak peduli. Hanya terisak meratapi perbuatannya. Aku meninggalkannya di kamar mandi. Ia tidak bergeming sedikitpun. Beberapa saat kemudian, aku masuk dan memeluk tubuhnya. Melepaskan pakaiannya dan menyelimutinya dengan handuk. Aku menuntunnya ke tempat tidur dan memberinya makan malam. “Malam ini, aku suapin kamu makan. Ayo buka mulutnya.” Ia tetap diam. Mungkin masih kecewa. “Ayo dibuka mulutnya. Nanti kamu sakit loh.” “Biarin aku sakit. Kamu gak perlu peduliin aku.” “Ya jangan begitu donk.” “Kenapa kamu masih peduliin aku?” “Aku peduli karena aku sayang kamu. Meski bukan sebagai pacar, aku boleh memperhatikanmu, bukan?” “Setelah apa yang terjadi tadi. Kamu masih mau memperhatikan aku?” “Tentu. Sekarang di makan ya? Maaf tadi aku membelinya di luar.” “Kamu marah gak ma aku?” “Marah sih marah akunya. Tetapi, ya buat apa keterusan marah ma kamu?” “Kamu itu terbuat dari apa sih? Bisa begini banget. Tadi marah ke aku. Sekarang, jadi care banget ma aku.” “Aku sama seperti kamu, koq. Sekarang, kamu sadar gak apa yang kamu lakuin tadi salah?” “Iya, aku minta maaf udah ngacauin semuanya.” “Masih ada satu hari lagi. Dan, kamu udah bebas dari rokok.” “Setelah itu, kamu akan pergi?” “Mungkin. Aku sudah menunaikan tugasku.” Ia memelukku. “Aku gak mau kamu pergi. Aku udah terlanjur sayang sama kamu.” “Gita, aku gak pergi koq. Cuma jadi orang di luar lingkaran kamu.” “Kamu gak suka sama aku?” “Aku suka sama kamu. Tapi, ada hal yang menghalangi kita. Kau tahu, itu kan.” “Kita akan tetap saling ketemu ‘kan?” “Masih koq. Yaudah dimakan nih.” Suap demi suap makanan itu dimakannya melalui bantuanku. Ia nampak senang mendapat perhatian dariku. Aku membereskan makanan dan kembali menemaninya. “Maafin aku ya tadi nyadarin kamu pake cara keras. Kalo gak gitu, kamu masih bakalan teler.” “Iya. Gak apa – apa.” “Kamu dibikin mabuk kan?” “Mereka mencekokiku dengan alkohol sehingga aku kehilangan kesadaran.” “Iya, aku percaya saat kamu sms minta segera menjemputmu.” Ia melihat lenganku dibalut perban. “Tangan kamu kenapa diperban?” “Ah, tidak apa – apa. Tadi waktu kau dibawa, aku sempat dihantam botol. Namun, aku menangkisnya dengan tanganku.” “Gara – gara aku, kamu jadi luka.” “Gak apa – apa koq. Yang penting sekarang, kamu baik – baik aja.” Aku bangkit dan menuju ke kamar mandi. “Kamu istirahat ya. Aku ingin mencoba beristirahat di bathtub.” Aku melepaskan semua pakaian yang melekat. Bathtub terisi oleh air hangat. Tanganku masih agak nyeri. Semoga bisa mengurangi rasa sakitku. Aku mencelupkan diri. Rasa hangat menjalar ke seluruh badan. Nikmat kurasakan begitu nyaman. Mengalun lagu Kings of Convenience – Cayman Islands dari ponsel membuatku semakin terlelap. Sayup – sayup, lagu MLTR – You Took My Heart Away mengalun indah. Aku membuka mata dan sesosok wanita masuk ke dalam bathtub. Aku yang mengangkang tidak dapat bergerak. Ia memegang kontolku yang berada di bawah air. “You took my heart away…..when my whole worlds was gray….you give me everythings…….and a little bit more….” Gita melantunkan Reff lagu tersebut sambil tangannya mengocok kontolku. Sungguh romantis suasana ini pikirku. “You become the meaning of life..” Ia menutup lagu itu dengan indah. Kontolku menegang ditangannya. “On the youngest years…..” Gita menyanyikan lagu MLTR – Paint My Love. Ia menyurutkan sebagian besar airnya hingga kontolku tidak terendam air. “Paint my love. You should paint my love……” Ia tetap bernyanyi sambil memasukkan kontolku di memeknya. “Been around the world……..” Aku bernyanyi sebisaku. Kontolku beradu dalam memek Gita yang begitu menikmati kontolku. “Since you came into my life……” Ia menyanyi dengan parau karena telah bercampur dengan desahannya menikmati kebersamaan ini. “Baby you should paint my love…..” Lagu itu berakhir dengan indah ketika kontolku mengeluarkan pejuh di memek Gita. Kami berdua saling berpelukan mesra dan berciuman. “Makasih udah mau ngebahagiain aku dalam waktu singkat ini.” “Aku juga bahagia bersama kamu, Git.” “Berasa lebih enak dan anget daripada pake kondom.” “Ronde ke 2?” “Semprotin aku lagi ya.” Ia menciumku dan kembali memacu tubuhku dengan tubuhnya sepanjang malam. Hari 3 Pagi ini, menjadi hari terakhir aku pergi ke sauna bersamanya. Kami menghabiskan sauna dengan terus melakukan hubungan badan seolah kami akan terpisah dalam waktu yang lama. Sesaat sebelum syuting, kami tidak luput memanfaatkan moment tersebut untuk saling menyatukan diri. Di mobil, di toilet Mall, Di ruang ganti baju dan masih banyak lainnya. Semua lubang milik Gita telah aku penuhi dengan pejuhku. Ia berpisah dengan janji jika ia kembali adiksi terhadap rokok, minuman dan drugs, aku adalah orang pertama yang ditemuinya untuk menyembuhkan sekaligus menampung hasrat seksualnya. Kami berpisah dengan manis seperti pejuhku dia bilang. Akhir hari itu, menjadi perpisahanku dengan Gita. Mungkin waktu akan mempertemukanku kembali. Aku pulang menuju apartement Bhumi. Aku beristirahat di sofa dan seseorang mengetuk pintu. Sesosok perempuan berdiri di depan pintu. Dia adalah Sibad. “Siti.” “Aku berhasil menemukanmu lewat find find my phone.” “Wew, itu bagus sekali.” “Kau ada waktu sekarang? Aku kangen kontolmu itu.” “Kau siap, Siti?” “Kamu bakalan lebih capek dari aku.” Singkat cerita, aku kembali bergumul dengan Sibad malam itu juga. Semoga berkenan dan Mohon maaf apabila menyalahi aturan forum harap PM. Terima Kasih