9 Su-su Yu-yun
Setelah berputar-putar cukup lama, Aku mulai memarkirkan motorku disalah satu kantor kecil di bilangan Jakarta Selatan. Kantor ini adalah milik salah satu kerabatku yang konon katanya sedang kekurangan tenaga. Lucunya, meski disebut kantor, namun penampakan tempat ini berada sedikit diluar perkiraanku. Ukurannya yang mungkin hanya tipe 36, terkesan cukup kecil untuk urusan skala ekspor-impor. Agak sedikit bimbang juga untuk memutuskan masuk apalagi menyapa calon bos-ku untuk untuk pertama kalinya. Tapi setelah mengingat kejadian di rumah hari itu, aku akhinrya memutuskan melanjutkannya. “Per-permisi…” ucapku sebelum melangkah masuk. Dengan hati-hati Aku melangkahkan kakiku melewati tumpukan mesin-mesin dan kotak-kotak kardus besar yang terlihat berserakan disana-sini. Namun sepertinya kekhawatiranku tidak berdasar. Meski terlihat berantakan, tetap saja ada ruang yang bisa kugunakan bagiku sebagai jalan menuju tangga yang mengarahkanku untuk menuju lantai atas. “tok-tok-tok” “Per-permisi…” Ucapku mulai memutar knop dan mendorong pintu membuka. “Eh?” ucapku melihat pemandangan di depanku. Terlihat di depanku seorang wanita sedang berdiri menungging membelakangiku. Ia terlihat sibuk mengurus sesuatu di antara tumpukan kardus dan rak dengan kemeja yang melambai. Saat ia bergeser terlihatlah wanita itu sedang meremas bongkahan tokednya sambil mengeluarkan suara meringis. “nghhh nghhh” ucapnya lirih dengan suara yang menggoda. Besar kemungkinan ia seadng mengeluarkan susunya. Benar saja, cairan putih kemudian memancar dari ujung-ujung putingnya yang menetes turun menuju sebuah botol bayi yang terlihat diletakkan di sebuah bangku tinggi yang biasa digunakan untuk memanjat. Namun sepertinya tetsan itu kembali meleset sehingga ia harus kembali bergeser. Dan nampaknya ia belum menyadari kehadiranku, sebab kali ini dia tidak malu-malu menaikkan roknya untuk bisa mengangkang … agar tokednya sedikit menempel di mulut botol bayi itu. “Gede banget!” batinku dalam hati melihat dadanya mulai menggantung indah. Meski kuperkirakan tidak sebesar milik tanteku, dan terlihat sedikit bengkak karena mungkin banyak menampung susu, namun harus ku akui bahwa toked itu mungkin mirip dengan saki ok*da yang menurutku ukurannya proporsional. Sayangya aku belum bisa melihat wajahnya, walau firasatku mengatakan bahwa itu wanita itu cantik. Tapi itu tidak masalah karena aku hanya seminggu membantu disini. “krieet!” tiba-tiba sebuah pintu disampingku membuka menampakkan sosok wanita keturunan chinesse berusia tiga puluhan dengan tubuh semok dan menggoda. Tampak wanita itu mengenakan pakaian tanpa lengan berpotongan rendah yang menonjolkan toked biadabnya yang hampir tumpah keluar dari sela-sela atas bajunya. Sementara untuk bawahannya sendiri, ia tampak mengenakan rok yang sedikit lebih tinggi dari lututnya memperlihatkan bentuk paha dan juga pinggulnya yang terlihat masih mulus seperti perawan muda. “Do!” panggilnya padaku. Namun saat itu aku masih belum mendengarnya karena fokusku pada wanita yang sedang memerah susunya sendiri. Namun, wanita chinesse, yang tidak lain adalah tanteku itu tidak menyerah dan mulai memanggilku lebih keras. Dengan berjalan mendekat ia mulai berusaha menyentuh bahuku dari arah samping. “Renaldo!” ucapnya sedikit berteriak. “Eh?” Aku terkejut dan mulai menoleh kesampingku dengan setengah terloncat. Membuat tanteku yang saat itu hendak menyentuh bahuku ikut-ikutan terloncat kaget. Dua buah gunung yang bisa menjadi objek onaniku itu lalu bergoyang heboh didepan mataku sebelum akhirnya terhenti oleh dua tangan lentik dengan kuku berwarna merah. “Ngapain kamu disitu?” tanya tanteku dengan dua mata mendelik ke arahku. “E-eh? eng-engga tante…” jawabku mulai menarik pintu lain yang kubuka rapat-rapat. “Ngapain kamu bengong disitu?” lanjutnya lagi. “Eh i-itu a-aku kaget tante… kok kantornya sempit banget… ” ucapku asal. “Eh?” lanjut menyadari kesalahanku. Benar saja bibir tipis tante berubah cemberut dan keningnya berkerut menatapku sedikit terlihat tidak senang. “Wah maaf ya do… kalo sempit. ” jawab tanteku jutek. “Eh maaf ga maksud tante… “ Namun tante kembali tidak menjawab. Dengan masih terlihat kesal ia kembali menuju ruangan lain di lantai dua itu tanpa mengajakku. Aku berlari mengejarnya sambil berusaha merayunya atau mungkin meredakan amarahnya. “ta-tane cantik… maaf tante Aldo ga maksud…” Lalu tante memandanku sehingga aku terpaksa menunduk. Menatap lembah yang tercipta dari sela-sela toked berukuran jumbo itu. “Iya- inilah anak jaman sekarang! Pantes kemarin mama kamu marah. Selalu depan komputer! ga ngerti susahnya cari duit! Tente mau liat seberapa betahnya kamu disini.” “Nanti kamu gabung sama Nakir dan Otong jadi kuli. Ga usah urusin pembukuan!” “Eh? ta-tapi tante…” “Emang kamu pikir kamu bisa cari makan dari komputer? ” “bi-bisa tante… belum sih…” jawabku menunduk kali ini aku tidak lagi tahan menatap dadanya. “Apa?” jawabnku ternyata membuat tanteku semakin marah. Lalu ceramah berlanjut sampai pada bagian yang ingin kulupakan. Untungnya setelah beberapa menit kemudian tante mulai capek berdiri dan akhirnya berhenti menceramahiku. Kebetulan, kakiku juga sudah pegal berdiri. “udah tante pegel. Sekarang turun kamu kesana! Tanya kerja kamu sama mereka!” perintahnya padaku sebelum berbalik kembali keruangannya. Akhirnya setelah bokong semok tante menghilang dari balik pintu, aku pun terpaksa melangkah turun mencari dua orang yang disebut-sebut sebagai Otong dan Nakir itu. Walau aku sudah mengetahui bahwa orang-orang itu tidak berada disana sebelumnya. Menjelang siang, Om-ku datang mengendarai mobil berwarna hitam. Dalam balutan setelan jas ia terlihat kaget ketika melihatku hanya bengong menatap ke jalanan. “Aldo! Kenapa kamu duduk diluar?” “Ga apa-apa om aku disuruh nunggu Nakir sama Otong katanya…” Om-ku nampak berkerut mendengar alasanku. Dan seperti mampu membaca pikiranku dan mulai bertanya. “tante ya?” “Eh i-iya, eh …eng-gak om…” “Maaf… tadi Aldo ga sengaja bilang kantornya kecil om…” “Tante marah… trus Aldo disuruh bantu Nakir sama Otong.” “begitu? hahahaha” jawab om-ku tertawa. Aku pun menjadi bingung pun mulai bertanya kepadanya. “Om ga marah?” “Dulu Om kan juga pernah muda. Om ngerti lah gimana anak muda masih suka senang-senang.” “Dan masih naif.” Ucapnya melirik ke arahku, “trus soal kantor…. hahaha… kamu sih kebanyakan nonton sinetron. Kantor ga musti gede, kalo ukuran kita segini udah cukup luas buat ekspor impor. Ngapain gede-gede kalo segini udah cukup?” “be-begitu om?” “Ya sudah Ren… ayo kita ke atas. kita ngomong sama Alya… maksud om tante kamu…” *** Keesokan harinya, aku kembali menunggu di bawah bersama dua orang kuli lainnya, Nakir dan Otong yang tidak lain adalah seorang pribumi. Tugas kami hari ini adalah mendata barang yang masuk dan keluar, mengangkutnya ke dalam truk yang akan membawanya ke gudang sewa. Rupanya, tidak semua barang-barang ini akan di simpan disini. Setelah didata, mesin-mesin kelebihannya akan disimpan di gudang bersama di daerah Cikarang. “Gimana do udah siap belom? Kita paling Cuma berlima nih?” ucap pria bernama Nakir. “hahaha ga tau mas…”tawaku datar terlihat pasrah. “Hahaha tante kamu jahat juga ya… kamu di suruh nguli begini…” “Eh i-iya… ga tau juga sih mas…” Sementara orang bernama Otong terlihat lebih banyak diam. Setelah mengagguk kepadaku dia hanya terus bolak-balik ke kamar mandi lantai bawah dan terlihat banyak memgang selangkangannya yang basah. Kadang ia terlihat banyak menatapku sambil terkadang menggaruk selangkangannya yang terlihat mulai menegang. Aku bergetar merasa takut. Mungkinkah? Demi mengusir rasa takutku pada pekerjaan pertamaku, pandanganku beralih mengingat kejadian kemarin saat Om –ku berbicara empat mata dengan tanteku di ruangan bos yang berada didalam kantor lantai dua. Menunggunya aku duduk didepan meja salah satu karyawan wanita bernama Vita yang terlihat sibuk menghitung dan mengetik beberapa berkas. Sampai sebuah teriakan mengagetkanku dan dua staf lainnya Vita dan Yuyun. “Ga bisa gitu PI! Dia harus belajar… ” teriak suara tanteku tiba-tiba. “Mami! Inget ini kantorku! Terserah aku mau apa!” Lalu mereka berdebat membuat kami yang mendengarnya dari luar terlihat canggung dan mulai saling menatap pintu yang tertutup itu. A-apakah kami boleh menghentikan mereka? “Oke Mas! Kalo gitu kita taruhan!” balas tanteku tiba-tiba. “Kamu tahan diatas lima menit di tanganku! Aldo naik. Kamu tidak kuat dia turun! Dan dia musti tahan sebulan disini! ” “Oke! Kita lihat Jen! Kita lihat!” balas Om-ku tidak mau kalah. Lalu susana terdengar hening untuk sepuluh atau mungkin lima belas menit kemudian. Sampai pintu kantor membuka. Dimana tante yang kini hanya mengenakan rok saja tanpa atasan terlihat berjalan keluar dengan mata terpejam. Terlihat genangan peju memenuhi rambut, dada serta wajahnya membuat kolam-kolam kecil yang mengalir. Terlihat ia meraba-raba dengan kedua tangannya menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya. “Deg!” Toked tante sempurna! Bulat! Mengkal! Bahkan sedikit lebih besar dari ingatanku sebelumnya. Kenyal dan mulus dengan puting cokelat yang membusung. Aku ingin menjamahnya tapi takut melihat kedua wanita itu mulai menatap kantor bos mereka dengan tatapan tidak percaya. “uhh…” Terlihat Om Ferdinand terkulai lemas di atas sofa di ruangan bos sambil kepalanya menengadah menatap langit-langit. Dimulutnya tersumpal sebuah pakaian tanpa lengan yang ku ketahui sebagai pakaian yang tadi tante pergunakan sebelumnya. Ia nampak kesal karena ia terlihat meremas tangannya keras sekali sampai BH ditangannya remuk dan terlipat. “oh my… gede banget” ucap sebuah suara lirih dari arah belakangku. Aku pun segera menoleh kebelakang dan mendapati seorang karyawati lainnya dalam balutan kemeja kerja sedang mendengus ke arah kepalaku. Matanya memandang kontol om-ku yang terkulai lemas dari luar resletinya dan menggantung sampai mencapai pahanya. Aku menduga ukuran kontol pamanku mencapai 17cm cukup besar untuk ukuran chinesse seperti kami. “Yun..” panggil mbak vita pada wanita itu, mencoba menyadarkannya. Namun bukan karyawati bernama Yuyun itu menoleh, malah aku yang kini memperhatikan Vita yang terlihat sibuk mengkodekan dadanya. Aku pun tergoda menjamahnya meski ukurannya terbilang rata menurutku. Namun sebelum aku berhasil menjamahnya, seseorang menarikku dari tempat dudukku. Seorang pria yang kontolnya mungkin seukuran jengkal tangan dalam keadaan rebah mulai menyeretku keluar tanpa berkata banyak. Sampai di bawah ia tersadar saat hendak memutar kunci mobilnya. “Ah.. Aldo… maaf …. ” “gimana ya om bilangnya…” “A-ada apa om…” Lalu aku melihat kontol om Ferdinand muali kembali menegang. “Sial!” batinku dalam hati. “Ah…” ucap Om-ku menggaruk-garuk kepalanya. “kamu tetap kerja angkat-angkat dulu ya… mungkin sebulan ini dulu.” “ta-tapi kuliah saya om… masuk minggu depan…” “Aduh…” om-ku mulai menggaruk-garuk kepalanya lagi. “maaf ya Ren.. tapi … om ternyata ga bisa bantu… tante kamu mau ngasih nasehat buat kamu…” “Eh? kok begitu om?” ucapku pura-pura polos. Lalu Om-ku mulai berkeringat yang kemudian ia seka dengan kain yang maish berada di genggamannya. Pakaian istri tercintanya setelah mereka baru saja bertengkar sebelumnya. “Eh apa ini?” ucap Om Ferdinand pura-pura acuh. Lalu Om Ferdinand terlihat bimbang seakan ingin menyerahkannya kepadaku. Lalu ia memilih melemparnya ke salah satu sudut diatara kardus-kardus yang sulit di jangkau. Setelah menarikku keluar ia mulai melangkah pergi. “Kamu ikut Om dulu hari ini!” perintah om Ferdinand kepadaku. “tapi-aku bawa motor om…” “Okelah… nanti om bicara sama mamamu, baru besok kamu kerja ya…” “Aduh sebulan lagi…” gerutu om ku lirih. Namun gerutuanku itu mungkin bisa membuatku tidak harus bekerja besok. Aku merasa sedikit sedih karena harus berpisah dari wanita-wanita cantik ini dan toked-toked indah yang mereka miliki. Namun tetap saja kau harus terlihat polos di depan semua orang. Akhirnya Om ku benar-benar melaju kejalanan menuju rumahku. Sebelum jauh ia kembali melambaikan tangan dan berteriak. “jangan lupa nyusul!” Aku lalu penasaran apakah kontolnya masih mengacung bebas dari luar celananya? *** Aku merasa tidak membantu banyak. Mesin-mesin ini terlalu berat dan aku sangat kesulitan mengangkatnya berdua saja. Akhirnya karena mungkin terasa mengganggu, aku diminta menggeser kardus dan merapikan lantai sehingga mesin-mesin berukuran sedang ini bisa digeser tanpa tergores. “Eh?” Namun menyapu saja cukup untuk membuatku berkeringat. Mungkin benar kata orang-orng bahwa aku terlalu banyak duduk di depan komputer. Akhirnya karena lelah, aku menoleh ke atas dan melihat mbak Yuyun berjalan menuju gudang yang penuh dengan rak dan dokumen-dokumen. Terlihat ia membawa sebuah tas kecil sambil melihat takut-takut ke arah bawah. Lalu pandangan kami bertemu, dan ia tersenyum manis. Lalu dengan wajah memerah, ia berjalan masuk menuju ruangan itu dan tidak keluar untuk beberapa saat. “Eh mungkinkah?” batinku tiba-tiba. Lalu aku pun menunggunya keluar sebelum mulai berjingkat-jingkat menuju ruangan itu. Benar saja tetesan-tetesan susu terlihat menggenang disana. nampaknya mbak Yuyun adalah wanita yang kulihat kemarin di ruangan ini meski saat itu aku merasa pakaiannya sedikit berbeda dengan yang digunakannya sebelumnya. “uhh…” aku merasakan kontolku mulai bergerak naik. Aku pun lalu mengeluarkan kontolku dan mulai mengocoknya dihadapan susu-susu itu. Akan kutinggalkan jejak di samping tetesan susu-susu itu mbak! Aku lalu membayangkan siluet toked bergizi itu. Aku membayangkan meremasnya, menjamahnya, menjilatinya dan mencubitnya seperti cerita-cerita yang kubaca. Aku mulai tergila-gila padanya dan berharap bisa meng-eksenya dalam waktu sebulan ini. Akumengocok kontolku yang menegang sambil terus membayangkan fantasi lairku yang bisa tertuang dalam tulisan. “mbak yuyun boleh aku minum susu mbak?” ucapku lirih. “Mungkin boleh…” ucapku lagi pada diriku sendiri. “Tidak…” “mbak aku punya rekaman mbak lagi memerah susu…” “Tidak…” “crot-crot-crot ” pejuku muncrat menggenangi bangku yang cukup tinggi itu. “Oh my….” batinku panik melihat genangan peju berwarna putih kental yang lengket. ***