12th Story : “Kamu adalah Dara Ku”
Disclaimer: Saya berusaha untuk mencoba berbagai jenis gaya penulisan untuk mencari kenyamanan dalam menulis cerita. Jika ada pihak yang merasa kurang puas, saya menerima kritik dan mohon sarannya. Lebih lanjut, alasan saya menulis cerita ini adalah murni untuk membuat cerita yang lebih “bersih” dari kata-kata yang menyebut alat vital. Saya memimpikan bahwa cerita panas bisa ditampilkan dengan tata bahasa yang “bersih” dan elegan dalam penyajiannya. Karya ini mungkin bukan yang terbaik dan masih kurang “bersih”. Tetapi, sekiranya kontribusi ini dapat membuat SF ini lebih dikenal. Terima kasih. So, Let’s Begin Malam itu, aku melihat Luna lebih gundah dari biasanya. Belakangan, kabar hubungannya dengan kekasihnya berakhir. Aku sendiri tidak menutup mata. Walaupun, aku lebih sering tidak peduli lagi dengan keadaannya. “Terus ngapain elo kesini lagi nemuin gue?” “Gue cuma denger kabar dari media soal elo.” “Nekad elo kesini. Kita udah lama banget enggak ada ketemu. Entar kalo dari infotainment tahu gimana?” “Enggak, Luna. Gue cuma make sure aja.” Sikapnya melunak. Keras kepalanya masih tidak berubah. Aku tersenyum dalam hati. “Thanks udah dateng kesini.” Suasana malam itu berubah sendu. Tentang rasa, entah aku harus menjelaskannya seperti apa. “Gue masih enggak terima kalo elo pernah tidur bareng si Tari itu.” Teringat aku akan sebuah kekhilafan yang pernah aku lakukan. “Ya, gue yang enggak bisa kendaliin diri, Luna.” “Gue udah berusaha buat ngemaafin perbuatan elo dulu. Tapi, enggak tahu kenapa gue juga enggak bisa terima kalo Tante-tante sok cakep itu sekamar bareng elo.” “Sorry, Luna. Gue pernah kecewain elo.” “Andai kalo elo enggak nikah sama si Sarah.” Dia memandangi gelasnya kosong. Aku tidak berbuat banyak selain memandangi kegelisahannya. “Gue enggak bisa bilang apapun kalo soal itu, Luna.” Aku menggapai tangan dan kepalanya. Aku mendekap Luna. Sebuah hal yang lama tidak aku lakukan setelah berbagai peristiwa yang menimpa kami. Harum tubuhnya terhirup melalui sela rambutnya yang menopangku. Hangat tubuhnya masih sama ketika aku masih bersamanya. Sebuah perasaan yang aku abaikan dengan hangat insan perempuan lainnya. Aku menelan baunya dalam-dalam. “Riel, pelan-pelan. Gue enggak mau bikin elo naik.” Dirinya masih berusaha mengontrol nafsunya. Aku pun dapat melakukannya. Akan tetapi, sesuatu tidak mengijinkan ku melakukannya. “Sorry, Luna. Gue udah lama enggak gituan sama elo lagi soalnya.” “Kan bisa sama yang laen juga ‘kan? Kenapa sama gue lagi?” Aku tidak menjawabnya. Aku hanya mengeraskan apa yang telah kulakukan. Dia sedikit menolak ku. “Jangan gitu lagi, Riel.” “Gue rindu sama elo, Luna.” Aku memaksakan keinginanku. “Elo itu keras kepala banget, Riel.” “Sama kayak elo juga.” Balasanku sejenak padanya memberikan senyum yang singkat di wajahnya. “Riel, temenin gue malem ini. Gue pengen bareng sama elo malem ini aja.” Ajakannya yang tiba-tiba membuatku terkejut. “Iya, Luna. Gue temenin elo malem ini.” “Jangan di video lagi. Entar kena ciduk lagi.” “Siap, Nona.” Dia menciumi segenggam helai rambutnya. “Mandi dulu yuk. Bau banget ini.” “Bareng?” “Jangan. Entar aja.” Luna beranjak menuju kamar mandi. Aku senang bisa sejenak bersama dengannya kembali. Aku melakukan waktu yang telah usai bersamanya. Seolah berusaha kembali untuk diingat. Gemericik air terdengar cukup jelas membuatku melirik ke arah kamar mandi. Benar saja, dia membiarkan pintunya terbuka. Inisiatif ku sekarang menuju kamar mandi, melepaskan pakaianku, dan masuk ke dalam bersama Luna. Pancaran air berderai deras membasahi tubuhnya. Sosok ragawinya memancing keingintahuanku. Aku tidak menahan diriku lagi dan memeluk punggungnya mendaratkan kecupan di tengkuknya. “cccuuuuuuuppphhh………..cccccuuuuupppppphhhhh……” “nnnnnnnnnggggggggggghhhhhhhhhh………………….” “Aku kesepian di luar.” Dia mengelus kepalaku. Aku mulai membiasakan diriku kembali dengan bentuk tubuhnya. Tanganku mengukur merasakan bentuk sepasang buah dada yang pernah menjadi sandaranku dulu. Memutarkan tanganku dan meremasnya lembut. “aaaaaaaahhhhhhhkkkkkkkhhhh…………mmmmmmmmhhhhhhh………” Dia melirikku dengan bibir tergigit seolah ingin menerkam. Aku memilin-milin putingnya lucu. Tubuhnya sedikit bergetar diiringi lenguhan pendek yang teratur. Tidak berhenti-henti aku menapaki bahu dan tengkuknya dengan ciuman manja. Dia membalik badan dan menatapku dengan tatapan yang menggoda. Tidak kusia-siakan dengan sebuah ciuman tepat di bibirnya. “cccccuuuuuuuppppphhhhhhhh……..ccccccccuuuuuuupppppphhhhhhhh………cccccccccccuuuuuuppppppppphhhhhhhhhhh……..” Sebuah perasaan yang lama tidak aku rasakan. Meneduhkan jiwaku sejenak. Hisapan lembut nan kuat itu tidak beranjak dalam waktu singkat. Diraihnya punggungku dan dipeluknya dalam kebuasan diri. “nnnnnnnnnnnngggggggggggghhhhhhhhhhhhh………….mmmmmmmmmmmmmmhhhhhhhhhhhhh…………..nnnnnnnnnnnnnnggggggghhhhhhhhhh……..” Disusurinya lekuk badanku yang mungkin sudah asing untuknya. Aku berusaha membelainya dengan kasih sayang. Usai itu, dirinya bersimpuh di hadapanku. Seorang perempuan yang banyak menjadi idola para lelaki kini memasrahkan diri. Dia mulai menggamit kemaluanku dan melahapnya masuk ke mulutnya.
“sssssssslllllllloooooooooorrrrrrrrppppppppphhhhhhhhhh…………………sssssssssssslllllllllllloooooooooorrrrrrrrrppppppppphhhhhhhh…………..ooooooooohhhhhhkkkkkkkkk……….ooooooohhhhhhkkkkkk………” Sensasi berbeda muncul seiring kepalanya maju mundur menohok alat vital ku. Seperti memompa membuatnya semakin bertumbuh. Lesapan lidahnya kadang berbenturan dengan gigi yang masih kuanggap wajar. Sesekali, ia terhenti dan melanjutkannya kembali. “Pelan, Luna. Isepan kamu enak banget.” Tembok depan muka ku menjadi penahan kedua tanganku untuk bersandar menikmati layanan oral yang dilakukannya. Tidak berhenti, kini zakarku dipermainkannya sembari kocokan tangannya berulir pada uratku. Tetapi, lelaki harus tahu batas kemampuannya dan tidak ingin berakhir dengan cepat, aku menarik diri membangkitkan Luna. “Liar banget kamunya.” “Sekarang udah pake aku kamu nih?” “enakan pake aku kamu kalo lagi ginian.” “Terusin mandi yuk.” Aku dan Luna sekamar mandi membasuh diri untuk persiapan nantinya. Di dalam kamar mandi, sosok Luna terbayang jelas di sampingku tengah membilas diri. Aku menatap dalam cermin dan tanpa kusadari beberapa wajah perempuan yang pernah aku habiskan waktu tergambar dalam kilau imajinerku. Mulai dari si Tante Tari sampai si gadis Pevita. “Semoga tidak menggangguku malam ini.” Berlanjut ke tempat tidur, Luna sudah merebahkan diri telanjang dan siap menerimaku. “Ayok sini. Langsung aja. Waktu kita enggak banyak, Riel.” Waktu telah menunjukkan sepertiga malam dan kami baru saja akan memulainya. Sungguh arus waktu yang sulit untuk dilawan. “Gimana mau masukkin? Belum tegang punya guenya.” Luna mengerti dan menarikku masuk. Dirabanya kemaluanku dan dikocoknya cepat. Dalam waktu singkat, aku bisa memulainya. Aku meraba liang kemaluannya yang sudah basah. “cccccccccccllllllllllllllooooooooooooookkkkkkkkkkhhhhh………….ccccclllllllloooooookkkkkkkkkkkhhhhhh………….ccccccccccclllllllloooooooooookkkkkkkhhhhhh….” “sssssssssssssllllllllllllllrrrrrrrrrrrppppppppppppp………………….ssssssssssslllllllllllllrrrrrrrrrppppppppphhhhhhhh…………..sssssssssssllllllllllllllllllppppppppppphhhhhhhhhhhh……” “Kamu udah basah banget ini.” Dia mengangguk malu. “Buruan, udah pengen digituin.” Aku tidak mengindahkannya dan langsung menusukkan jemariku masuk. Aku membuatnya agar jauh lebih basah lagi. Desahannya semakin kencang dan bunyi gercap basah datang dari liang kemaluannya. “ccccccccccccccccccclllllllllllllllllllllllllllooooooooooooooopppppppppphhhhhhhhhhhh……………….cccccccccccclllllllllllllooooooooooopppppppppphhhhhhhhhh………………ccccccccccccccllllllllllllllllllooooooooooooppppppphhhhhhhhhh……………..” “Riel, ampun. Brenti. Mau keluar. Riel, stop.” “ssssssssppppppppppppppppprrrrrrrttttttttttttt……………….” Tubuhnya menjengkang keatas kemudian terhempas di atas kasur. Nafasnya memburu panjang dan lemas. “Sialan, dibikin capek dulu akunya.” “Udah berumur juga akunya. Jadi, butuh taktik buat bikin enak.” “Tapi, masih kuat kan?” “Bercanda nih?” Dia melirik ke bawah seraya aku menghempaskan kemaluanku masuk ke dalam liangnya perlahan. “jjjjjjjjjjjjllllllllllllllllleeeeeeeeeebbbbbbbbbbbbhhhhhhhhhhh……………….” “mmmmmmmmmmmmhhhhhhhhhhhhhhhhh………………..” Ekspresi wajahnya memang sudah tidak seperti saat pertama kali melakukannya. Bahkan, dia membuang muka kesamping membuatku sedikit skeptis. “Luna, kamu kenapa?” “Enggak tahu, Riel. Aku ngerasa salah kita balik ngelakuin kayak gini lagi.” Aku menghadapkan wajahnya dan menatapnya. “Sorry, aku enggak bermaksud atas kondisi kamu sekarang. Kalo kamu enggak nyaman, aku bakal hentiin ini.” Dia terdiam dan aku berniat mengakhiri ini secara cepat. Aku batal mendapatkan kehangatan darinya. “Jangan, Riel. Terusin yang kamu lakuin.” Dia menarik punggungku lekat mengunciku dengan kakinya. Aku melihatnya menghela nafas panjang. Matanya sedikit berkaca-kaca. “Ingetin aku sama kenangan kita dulu.” Aku mencium bibirnya. Aku mengulumnya layaknya seorang kekasih yang merindu. Tidak ada keraguan. “cccccccccccuuuuuuuuuuuuuuuppppppppphhhhhhhhhhhhh………cccccccccclllllluuuuuuuuuupppppppppphhhhhhhhhhhhhh…………” Hanya sebuah bentuk ironi kehidupan yang harus aku jalani. Dia memegangi wajahku erat membalas dengan penuh arti. Kami sedang melampiaskan kesepian yang telah terkikis seiring derai cumbu yang kami berikan. Selepas itu, aku menghadiahinya sebuah hentakan lembut di liang kemaluan. “bbbbbbbbbbblllllllllleeeeessssshhhhhhhh………….sssssllllllllllleeeeeeeeeeeppppphhhhhhh……………ssssssssssslllllllllleeeeeeeeeeeppppphhhhh………sssssssssssssslllllllllleeeeeeeeepppphhhhhhh…….” Dia mulai membiasakan diri menerima setiap rengkuhan yang kulakukan. Aku mengepalkan tangannya mendera kenikmatan fana ini. “aaahhhhhhkkkkkkk……………aaaaaaaaaakkkkkkkhhhhhhh………..aaaaaaaakkkkkkhhhh…….” “ooooooohhhhhhhhkkkkkkkk…………ooooooohhhhhhhhhhkkkkkkkkk……….ooooooohhhhhhkkkkkkkk……..” Desah layu memburu dengan nafas sengau ku membuncah akan gejolak nafsu. Dilihatnya nanar, aku menguasainya dengan menembus pertahanan kewanitaannya dan mempermainkan aset kewanitaannya juga. Buah dadanya lembut kugenggam dan kuremas manja meneriakkan ketidakberdayaan yang memuaskan diri. “gggggyyyyyyyaahhhhhhhh…………mmmmmmmmmmmmhhhhhhhhhhh………nnnnnnnggggghhhhhhhhhh………..” Terhisap padaku deburan nafsunya lewat putingnya yang menggetarkan. Perutnya sedikit mengembung menghaturkan pujianku lewat kecupan lembut. “ccccccuuuppphhhhhhh……..cccccccuuuuupppppphhhhhh……..cccccuuuuuuuupppppphhhhhhh……” Aku memeluknya bangkit dan menggenjot tubuhnya naik turun dalam pelukku. “mmmmmmmmmmmmhhhhhhhhhh……..aaaaaaaahhhhhhkkkkkkkkkk……….ooooooooooohhhhhhhhhkkkkkkkkkk…………ssssssssssssssssshhhhhhhhhhhhh…………” Racauan tingkahnya menggemaskan ku. Luna menyandingkan ciumannya yang menafsukan diri. Enggan terengkuh dalam nikmat, dia membaringkanku ke tempat tidur. “Giliran aku sekarang.” Ditapakinya dadaku oleh tangannya seraya menggebu melesakkan liangnya pada kemaluanku. “bbbbbbblllllllleeeeessssshhhhhhhhhh…………ccccccccrrrrrrrrrrrroooopppppppphhhhhhhhh………….ccccccccccccrrrrrrrrrrroooooooopppppppppppphhhhhhhhh………..ccccccccccrrrrrrrrrroooooooooppppphhhhhhhh…….” Mula-mula, gerakan itu menghantam pinggangku berulang-ulang. Kemudian, dia memberikan goyangan pinggul yang memusingkan ubun-ubun. “Luna….Luna…pelan….Luna….enak…” “nnnnnnnnnnnggggggggggghhhhhhhhhh…………..mmmmmmmmmmmmmhhhhhhhhhhhhh…………ssssssssssshhhhhhhhhhhhhh………ooooooooogggggghhhhhhhhhh……..” Rintihan lembutnya mengoyak jiwaku yang mabuk dengan nafsu fana. Diimbangi gerakan tubuh yang berhasil membuatku bertekuk lutut. Dia menjengkang mengejar nikmat yang direngkuhnya berulang-ulang. “aaaaaaggggghhhhhhhhh……….mmmmmmmmmmhhhhhhhhhhh………..ssssssssssshhhhhhhhhhhhh……..” Kelelahan mendera kami sementara. Dia melepaskan diri dan mengambil sikap memberi layanan oral seperti yang dilakukannya tadi. Tanpa jijik, dilahapnya batang kemaluanku hingga membuatnya penuh di dalam rongga mulutnya. “sssssssslllllllllllllllooooooooorrrrrrrpppppppppphhhhhhhhh…………sssssssslllllllllloooooooooorrrrrrrrrrpppppphhhhhhhh……ssssllllllllllloooooorrrrrrrpppppppphhhhhhhhh………” Aku mengumpulkan tenagaku yang tersita. Tidak hanya melahapnya, Luna memberikan hisapan yang lekat dan kocokan dari jemarinya menyusur di batang kemaluanku. “ccccccccccrrrrrrrroooooooookkkkkkkkk………..ccccccccccrrrrrrrrrrrrooooooooooookkkkkkkk………ccccccccccrrrrrrrrooooooookkkkk……..” Zakarku tidak luput dari perhatiannya dan mendapat perlakuan serupa. Aku menahan diriku agar tidak mencapai klimaks terlebih dahulu. Perlakuan istimewanya kubalas dengan membimbingnya untuk memposisikan diri menonjolkan pantatnya ke atas. Aku menjilati liang kemaluannya yang menggercapkan lidah. Sela liang kemaluannya terjamah lidahku membuatnya penuh liur. Dengan kepala Luna yang bertumpu pada tempat tidur, aku memegangi batang kemaluanku dan mendorongnya pada liangnya. “bbbbbbbllllllllllleeeeeesssssshhhhhhhhh……….” Aku memaksanya untuk kembali menerima perlakuan binatangku ini. Kemaluanku bebas meluncur di dalamnya tanpa hambatan berarti. Hanya kudengarkan raung dan dengungan Luna yang menahan hujamanku.
“aaaaahhhhhhhhhhh……….aaaaaaaaaahhhhhhhhhh…………..ooooooohhhhhhhh……….oooooooooohhhhhh…….mmmmmmmmmhhhhhhhh……..mmmmmmmmhhhhhhhh…………ssssssshhhhhhhhhh…..ssssssssshhhhhh……” Punggungnya mulus berderai bulir-bulir keringat yang menguras stamina. Semakin liar aku mencengkram pantatnya dan mengoyak kemaluannya tanpa henti. Aku membaringkannya ke sisi depanku mengangkat salah satu kakinya membuka liangnya lebar. Tanpa berbasa-basi, kemaluanku melakukan tugasnya dari belakang. Aku menciumi punggung dan tengkuknya. “ccccccccceeeeeerrrrrrrppppppphhhhhhhhh……….cccccccccccceeeeeeeeeerrrrrrrrpppppppphhhhhhh……….cccccccrrrrrrreeeeeppppppppphhhhhhhhhh………” “Luna….kangen banget giniin kamu..” “Terusin aja, Riel. Aku punya kamu malem ini.” Aku meraih buah dadanya dan meremasnya kesetanan. Luna mengerang nikmat. “oooooooooooooogggggggghhhhhhhhhhhh…………..mmmmmmmmmmmmhhhhhhhhhhhh………..nnnnnnnnnnnngggggggggggghhhhhhhhhh….” “Aku pengen nindihin kamu, Luna.” Dia berada di bawahku dengan kemaluanku masih menancap dan terus menggebu. Aku bertumpu pada punggungnya dan erangan Luna semakin keras terdengar. “aaaaahhhhhhhhhh……….ooooooooooogggggggggghhhhhhhh………….uuuuuuuuuuuggggggggghhhhhhhhh………….eeeeeeeeeeggggggggghhhhhhhhhhhhhhh………….mmmmmmmmmmmhhhhhhhhh……..” “Riel, aku mau keluar lagi.” “Aku juga mau keluar.” Kemaluannya menjepit kemaluanku dengan lebih rapat. Dia tidak membiarkanku lepas dari cengkeramannya. Tetapi, aku masih dapat melakukan hujaman keras di sana dengan sisa tenaga yang ada. “Luna, aku keluar..” “sssssssssspppppppppppppppuuuuuuuurrrrrrrrrrtttttttttttt……………….ssssssssppppppppppuuuuuuurrrrrrtttttttttt……………” “aaaaaaaaahhhhhhhhhhh……………..” “oooooooooooohhhhhhhhhh…………..” Tidak aku pedulikan kondisi Luna ketika kemaluanku mencapai klimaks dan menyemburkan mani di liangnya. Samar-samar, aku pun merasakan kedutan di kemaluanku dan merasakan sensasi lembab yang lengket. Kurasakan, Luna mengalami klimaks setelah aku mengeluarkannya di dalam liangnya. “Luna….” “Ariel……” Kami saling didera kelelahan. Luna tidak berkata apa-apa selain membiarkanku menuntaskan lelah. Sepasang insan yang usai mengarungi gejolak nafsu yang terkalahkan oleh batinnya yang mencapai sebuah puncak kepuasan fana. Sinar redup televisi kamar itu remang-remang menyinari ku. Luna kini tertidur pulas di bahuku. Setelah apa yang kami lakukan tadi, menjadi sebuah temu rindu antara sepasang insan yang memiliki namun tidak bersatu. Sepertiga malam ini sebentar lagi berakhir. Aku tidak dapat menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Aku beranjak dan menidurkan Luna di tempat tidurnya. Enggan aku meninggalkannya. Tapi, aku tidak mungkin bersama dengannya. Malam ini menjadi sebuah kisah kecilku diantara keputusasaan ku dalam mencintainya. “Riel, elo mau balik ya?” Luna terbangun dengan kondisi setengah sadar. Namun, masih dapat mengenaliku. “Iya. Gue enggak bisa lama-lama.” “Thanks ya udah nemenin gue di malam yang singkat ini.” Aku memegang tangannya. “Rasa itu enggak pernah ilang dari gue, Luna.” “Gue enggak tau harus bilang apa. Rumit buat gue jawab.” Aku mencium tangannya dan beranjak pergi. Di Lobby, aku memesan taksi online untuk kembali ke tempatku. Kembali pada kehidupan nyataku. Tidak lama, mobilku tiba dan sopir taksi online ini menyambutku ramah. “Selamat dini hari, saya Grha, mitra taksi online pada kesempatan ini.” “Pak, sesuai peta, ya.” “Baik, Pak.” Aku duduk dan membenamkan pandanganku sejenak. “Mohon maaf, Mas Ariel vokalisnya band Noah itu ya?” “Oh, Masnya ngenalin saya rupanya.” “Iya, Mas. Mohon maaf saya agak kaget soalnya. Silahkan dilanjutkan istirahatnya.” Aku memejamkan mata kembali dan mendendangkan lagu yang pernah kuciptakan. ==================== dara jangan kau bersedih
ku tahu kau lelah
tepiskan keluh dunia
biarkan mereka, biarkan mereka
tenangkan hati di sana
tertidur kau lelah
mimpi yang menyenangkan
biarkan semua, biarkan semua
kurangi beban itu, tetap lihat ke depan
tak terasingkan dunia, dua jiwa yang perih
masih ada di sana untuk kita berdua
dalam hati yang menyatu tempat kita menua
kurangi beban itu, tetap lihat ke depan
tak terasingkan dunia, dua jiwa yang perih
masih ada di sana untuk kita berdua
dalam hati yang menyatu tempat kita menua
dan jangan engkau bersedih, ku tahu kau lelah
tepiskan keluh dunia ==================== Luna, Kamu adalah Dara ku ______________________________ Teringatku pada masa aku pernah berhubungan dengan perempuan bernama Pevita. Usai mengajaknya ke bioskop, aku berniat untuk mengantarnya pulang. “Makasih ya udah nemenin nonton.” “Oh iya, jaketnya pake aja.” “Enggak apa-apa nih?” Aku mengangguk pelan. “Makasih ya.” Pevita refleks memberi ciuman di pipiku. “cccccuuuuuuppppphhh…….” “Mas Ariel hari ini ada acara enggak?” “Enggak. Lagi free koq.” “Mau ikut aku enggak?” “Ayok aja kalo kamunya ngajak.” Raut wajahnya menggembirakan. Singkat cerita, kami bercumbu di sofa layaknya kekasih. Kami berdua sibuk beradu bibir dan lidah. Sementara itu, aku menusukkan jariku pada kemaluan Pevita yang berbulu jarang dan dia memegangi kemaluanku dan mengocoknya. “cccccccuuuuuuppppppppphhhhhhhhh…………ccccccccccuuuuuuuuuppppppppppphhhhhhhhh…………..” “mmmmmmmmmmmhhhhhhhhhhh……….mmmmmmmmmmmhhhhhhhh…………” “cccccccccccrrrrrrrrrrroooooooookkkkkkkkkkkkk………….cccccccccccccrrrrrrrrrrrrrroooooooookkkkkkkkkhhhhhh………..cccccccccrrrrrrrrrrooooooooookkkkkhhhhhh……….” “sssssssscccccchhhhhllllllllllllliiiiiiiiiicccccccckkkkkkkkk……………sssssssscccccccrrrrrrrrrroooooooooppppppphhhhhhhh…………..ssssssssssccccchhhhhhhlllllllllliiiiiiccccccccckk………” Percumbuan itu terus berlanjut untuk beberapa saat hingga ponsel Pevita berdering. “Maaf banget, Mas. Pevita hari ini enggak bisa BJ sama Fuck Mas Ariel. Bentar lagi ada photo session soalnya.” “Iya, enggak apa-apa.” “Pevita janji nanti bakal dikasih Fuck nya.” Aku tersenyum kecil sambil membenahi diri dan pergi bersama Pevita. Sekian dan Terima Kasih Sebelumnya